Surabaya (Antara Jatim) - Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menilai Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan Kawasan Terbatas Merokok (KTM) Nomor 5 Tahun 2008 belum optimal menurunkan jumlah perokok.

"Hasil observasi dalam 3-5 tahun pada tujuh sarana sesuai Perda menunjukkan bahwa pelaksanaan Perda 5/2008 tentang KTR dan KTM belum efektif. Masih bayak ditemukan adanya pelanggaran," kata Ketua TSCS-IAKMI Surabaya, Santi Martini, di Surabaya, Senin.

Santi menjelaskan adanya aturan KTM justru memberatkan masyarakat dan menjadi salah satu alasan untuk melanggar aturan. Pasal 4 (tentang KTM) Perda 5/2008 juga tidak sesuai dengan peraturan di atasnya, yaitu UU Nomor 36 Tahun 2009 dan PP Nomor 109 Tahun 2012.

"Perda KTR bukan untuk melarang orang merokok agar baik perokok maupun bukan perokok sama-sama terlindungi haknya. Perda tersebut dimaksudkan untuk melindungi bukan perokok agar baik perokok agar tak terkena asap rokok orang lain sehingga meningkatkan risiko terkena penyakit," katanya.

Sebagian besar warga Surabaya, lanjut Santi mendukung adanya KTR 100 persen. Untuk itu, mewujudkan KTR 100 persen menjadi mendesak karena dampak asap rokok tidak hanya ditanggung oleh perokok namun juga harus ditanggung oleh semua orang di sekitar perokok.

TSCS-IAKMI, kata Santi, mendorong dilakukannya revisi Perda Nomor 5 Tahun 2008 agar sesuai dengan peraturan di atasnya.

Menurut dia, perlu Perda KTR 100 persen dan penegakan pelaksanaannya agar terwujud Surabaya sebagai kota sehat dan layak untuk anak.

"Penegakan terhadap setiap pelanggaran harus ditulis secara jelas pada Perda yang akan direvisi, dengan pertimbangan besaran denda yang masuk akal untuk dilaksanakan oleh pelanggar dan membuat efek jera, misal denda berupa uang sebesar Rp2 juta bukan ancaman Rp50 juta yang terkadang diasumsikan masyarakat tidak mungkin ditegakkan," tegasnya.

Kepala Daerah, katanya, harus menginstruksikan kepada Satpol PP dan semua instansi di bawahnya untuk aktif menegakkan Perda KTR. Harus pula dibentuk tim pemantau pada masing-masing kawasan.

"Selama ini yang berjalan hanya tim pemantau Perda KTR dan Dinas Kesehatan yang memantau sarana kesehatan seperti rumah sakit, klinik dan apotek. Tim pemantau yang dimaksud bisa berasal dari Dinas Sosial untuk memantau rumah ibadah, atau dinas Perhubungan untuk memantau angkutan umum," imbuhnya.

Selain itu penetapan KTR 100 persen bisa mengurangi jumlah perokok sehingga penyakit yang disebabkan oleh asap rokok berkurang, maka beban yang ditanggung BPJS akan berkurang.

"Masyarakat perlu diberi edukasi hidup sehat itu lebih bernilai dan efisien.  Meski biaya berobat ditanggung negara melalui BPJS namun masyrakat tetap menanggung kerugian karena sakit, di antaranya biaya transport ke rumah sair dan tidak bisa bekerja menghidupi keluarga akibat produktivitas yang hilang," katanya. (*)

Pewarta: willy irawan

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016