Surabaya (Antara Jatim) - Pengamat Pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Magelang Dr. Imam Mawardi, S.Ag, M.Ag mengatakan adanya pro kontra seputar sekolah sehari penuh atau "full day scholl" (FDS) perlu disikapi dengan bijak dengan mempertanyakan kembali siapa yang membuat wacana FDS menjadi kegaduan publik.
    
"Siapa yang membuat gaduh, barangkali ini lebih enak dikomentari dari pada FDS. Semua yang berkomentar baik yang pro maupun yang kontra mempunyai alasan, apakah alasan itu rasional dan pedagogis. Ataukah alasan kebencian atau ada unsur politik dan ada unsur bisnis di dalamnya," kata mantan Dekan FAI UM Magelang Dr. Imam Mawardi kepada Antara di Surabaya, Sabtu.
    
Menurut Imam, adanya wacana FDS itu karena Menteri Pendidikan yang baru ingin memetakan sejauhmana sebuah kebijakan program diwacanakan. Ini tentunya bukan sekadar asal bunyi, tetapi lewat beberapa studi para pakar yang menggeluti permasalahan ini.
    
Apalagi studi di Finlandia, lanjut dia, negara yang sukses sistem pendidikannya juga menerapkan sistem ini, bahkan orang tua juga diwajibkan untuk mengikuti program pendidikan keluarga, bagaimana cara bersikap dalam memperlakukan anak dan mendidikya. Program ini dilaksanakan seminggu tiga kali pada pukul 21-22 malam.
    
Sedangkan di Indonesia sendiri, lanjut dia, bukan barang baru. Sudah banyak program FDS diterapkan, khususnya lembaga sekolah sekolah Islam. "Ingin tahu berapa peminatnya? Tak terhitung jumlah banyaknya orang tua yang mempercayakan model FDS ini, apalagi terbukti outputnya tidak sekedar cakap kognitif dan psikomotornya, tetapi juga akhlak dan karakternya terbentuk dengan baik," kata lulusan S1 dan S2 Universitas Islam negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.
    
Berarti model FDS ini, lanjut dia, bisa dipercaya masyarakat. Tapi sayangnya FDS ini kesannya mahal dan hanya dapat ditempuh kalangan ekonomi menengah ke atas. Memang, kata dia, informasinya ada subsidi silang bagi yang kurang mampu, tetapi tentunya dengan syarat tertentu, punya prestasi.
    
"Sedangkan bagiamana bagi anak yang otaknya biasa-biasa saja dan kurang mampu? Guyonanya ya tetap bisa sekolah, sekolah negeri atau swasta yang biasa-biasa saja, biasa vasilitas, biasa beaya bahkan gratis, biasa     program, bahkan biasa guru yang asal mengajar, maklum gajinya juga biasa kurang," katanya.
    
Lulusan S3 Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung ini mencontohkan di Jawa Tengah pernah dicoba sekolah lima hari kerja, dari Senin sampai Jumat sehari penuh dan juga menjadi gaduh. Padahal maksud Gubernur baik sebenarnya, biar anak kalau hari Sabtu dan Minggu bisa bersama-sama orang tuanya secara total, menularkan kekraban dan anak bisa menghargai pekerjaan atau kegiatan sosial ortunya.
    
"Kalau ortunya petani, anak diajak bersama membantu di sawah atau ladang, kalau pedagang mungkin diajak ke pasar sehigga terjadilah sebuah dialektika. Tapi nampaknya model sekolah lima hari kerja, hanya cocok di perkotaan. Apalagi persoalan transportasi di pedesaan, anak sampai rumah bisa jadi pukul 19.00 WIB dalam keadaan sudah lelah, padahal masih harus belajar mengerjakan PR dan harus bangun pagi utk berangkat sekolah esok hari," katanya.
    
Ia menilai kalangan profesional menyambut baik adanya model FDS ini meskipun andaikan pemerintah membatalkan program ini, bagi kalangan ini tetap menyekolahkan ke FDS yang sudah ada. Bahkan anak usia PAUD saja dititipkan di tempat penitipan anak.
    
Alasan bagi profesional ini, lanjut dia, lebih baik anak banyak waktu di sekolah yang sudah tertata kurikulumnya, ada gurunya yang memahami karakter anak, dari pada di rumah yang banyak waktu dihabiskan dengan pembantu.
    
"Apalagi tahu sendiri bagaimana kualitas pembantu rumah tangga, pendidikan dan motivasinya sudah berbeda dg pendidik. Jelaslah karakter anak setidaknya tertular dengan mental pembantu. Pembantu yang baik memang ada tapi seribu satu," katanya.
    
Ada memang solusinya, lanjut dia, salah atau dari ayah atau ibu tetap di rumah, tidak sama-sama profesional di kantoran, sehingga bisa mengawasi dan mendidik anak di rumah. Tapi ini bukan solusi yang baik, banyak variabel yang akan mengikutinya dan dibutuhkan kearifan tertentu (*)

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016