Pendidikan Nasional kembali diramaikan dengan keinginan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Efendi, yang berinisiatif menerapkan sistem full day school pada Sekolah Dasar (SD s/d SMP).

Statement Menteri anyar ini, kian mengukuhkan bahwa diskurus pendidikan nasional tak ada habisnya untuk dibahas. Dalih moralitas dan karakter menjadi basis wacana dalam penerapan kebijakan ini.

Di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang kian terhimpit, serta heterogenitas kondisi sosial bangsa, apakah kebijakan ini akan menuai implikasi strategis, atau bahkan menyemai ironis?.

Y.B. Mangunwijaya dalam karyanya yang telah menjadi klasik Ikan-Ikan Hiu, Ido Homa, (1983) pernah menggambarkan secara metaforis bahwa rakyat kecillah yang selalu  menjadi tumbal dalam proses sejarah.

Tokoh Oti dan Loemadara dalam karyanya tersebut misalnya, merupakan gambaran rakyat kecil, atau ikan Homa yang menjadi tumbal bagi ikan Ido yang lebih besar, yang kelak ikan Idopun akan disantap oleh ikan Hiu yang lebih besar, buas dan serakah.
Inilah potret ekosistem darwinisme yang berlaku hukum: siapa yang berkuasa dialah yang akan memenangkan pertarungan sejarah.

Fenomena “saling memangsa” di atas, akan penulis jadikan sebagai cermin dalam mengamati kebijakan dini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Dalam pemberitaan yang beredar,  sibuknya orang tua dalam berkarir merupakan reasoning mendasar terhadap kebijakan penerapan sistem pendidikan penuh waktu.

Lepasnya kontrol orang tua, menurutnya, dikhawatirkan akan membentuk karakter yang liar, sehingga sekolah sebagai institusi pendidikan "harus bertanggung jawab" untuk mengisi waktu kosong tersebut (Kompas, 7/8).

Pernyataan ini, justru semakin menegaskan bahwa kebijakan full day school merupakan korban dari kondisi masyarakat yang sibuk dengan pekerjaannya.

Dikatakan korban masyarakat karena ada beberapa sekolah yang didesain untuk menyiasati kondisi masyarakat seperti itu. Ketika para orang tua sudah mulai kekurangan waktu untuk mendidik anak-anak mereka, sebagian sekolah tampil menyiasati kesenjangan itu dengan menambah jam sekolah.

Alih-alih membuat desain program sekolah yang lebih manusiawi, kebijakan ini justru akan mengalienasi anak-anak dari masyarakat. Tercerabutnya eksistensi anak-anak untuk bersosialisasi dengan masyarakat, berpotensi membentuk watak anak yang individualis dan introvert.

Realitas diatas, sungguhpun memiliki iktikad baik dalam rangka memperbaiki moralitas dan karakter anak didik, namun, pemberian beban dengan penambahan waktu, justeru bisa menjadi boomerang, karena anak berpotensi memiliki sikap nir-sosial.

Selain itu, dengan ditambahnya jam pelajaran akan berkonsekuensi pada penambahan iuran sekolah. Para mentor/ pelatih  ekstra kulikuler dan perekrutan guru ngaji sebagai solusi oleh Mendikbud, jelas-jelas membutuhkan nilai financial yang tinggi jika hal itu dilakukan secara serius. Dan, lagi-lagi biaya itu akan dibebankan kepada orang tua.

Secara eksplisit, skema di atas sangat jelas, bahwa yang diuntungkan dari kebijakan ini adalah kasta elit/masyarakat menengah atas, yang notabene mempunyai kesibukan yang ekstra, namun di lain sisi mereka juga memiliki modal financial yang memadai, sehingga full day school menjadi pilihan yang masuk akal.

Lagi-lagi, kalangan berduitlah yang diuntungkan dari regulasi ini. Sedangkan mayoritas masyarakat kelas menengah dan bawah, tidak bisa dikatakan cocok untuk turut menyekolahkan anaknya dengan sistem seperti ini. Karena secara kultural, justru Indonesia banyak dihuni oleh masyarakat yang masih memegang teguh tradisi bertetangga dan bersosialisasi sejak dini.

Dan jika diskursus mengenai full day school ini benar-benar direalisasikan bagi Sekolah Dasar baik Negeri maupun swasta, maka darwinisme sosialpun akan lahir dalam pentas sejarah Indonesia dengan mengambil pendidikan sebagai segmentasinya. Fenomena ini kian menyempurnakan darwinisme bangsa, disamping darwinisme hukum, ekonomi, dan politik.


Kembali ke Ki Hadjar

Jika realitas full day school secara faktual dalam kondisi masyarakat Indonesia banyak menuai prolem dan ironi, maka solusi yang paling realistis adalah dengan mengengok kembali wasiat Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nusantara.

Dalam setiap ide pendidikannya, Ki Hadjar tak pernah sekalipun meninggalkan karakteristik dan tradisi bangsa. Hal pertama yang harus dipahami adalah, amanah pendidikan, bukan hanya dibebankan kepada sekolah.

Entitas sekolah hanya sebagai pelembagaan dari pendidikan itu sendiri. Keberadaan sekolah, merupakan institusionalisasi dari kewajiban berpendidikan. Sehingga, ada ruang kosong yang perlu diperhatikan untuk membentuk karakter terdidik, bukan hanya terpelajar.

Selanjutnya, perlu melakukan reposisi secara proporsional antara kewajiban bersekolah (schooling), belajar (learning) dan bersosialisasi.
Ketiga poin ini, harus disadari bersama bahwa pendekatan dan dominasi persekolahan (schooling) dalam sistem pendidikan nasional jangan sampai malah mengaburkan makna belajar (learning) itu sendiri.

Anak-anak semakin ditekan dengan banyak mata pelajaran dan kegiatan sekolah, sehingga fokus mereka bukan belajar secara mandiri, namun hanya sebatas memenuhi tugas administratif-aksesoris guru.

Selain itu, wasiat Ki Hadjar Dewantara mengenai penguatan peran keluarga dan masyarakat harus diimplementasikan, sehingga reinforcement posisi sekolah, keluarga dan masyarakat secara integratif, akan dengan sendirinya melahirkan karakter anak yang unggul, mampu bekerja sama dan tidak buta terhadap kondisi sosial.

Hal ini dikarenakan, menurut Ki Hadjar, pendidikan tidak hanya ditugaskan oleh institusi sekolah, peran serta keluarga dan masyarakat bahkan menjadi sub-sistem yang harus didayagunakan dalam rangka mengembangkan pendidikan.

Yang terjadi saat ini dalam konteks pendidikan adalah more schooling but less education, institusi dan program sekolah semakin banyak, namun nilai-nilai esensial pendidikan malah kian menguap.
Memperbanyak sekolah dan memperlama tinggal di dalamnya merupakan kebijakan yang tidak humanis. Memaksakan belajar hanya di sekolah justru mempersempit akses belajar bagi banyak peserta didik, apalagi di daerah terpencil dengan infrastruktur yang jauh dari kata memadai.

Walhasil, diantara simpul-simpul pendidikan yang harus dipahami paling utama adalah keterlibatan (involvement) keluarga dan masyarakat. Karena, dalam kedua entitas inilah hakikat belajar termanifestasikan.

Keluarga dan masyarakat harus diposisikan dan diperkuat sebagai satuan pendidikan yang sah, selain sekolah. Sehingga, mewacanakan perbaikan karakter melalui full day school merupakan nalar yang kurang tepat, tanpa pelibatan secara massif antara sekolah, keluarga dan masyarakat. (*)

------------
*) Penulis adalah Wakil Ketua II IPNU Jatim, Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Lamongan dan Penerima Program 5.000 Doktor Kemenag RI.

Pewarta: Oleh W Eka Wahyudi *)

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016