Jakarta, (Antara) - Ujian demi ujian, silih berganti menghinggapi bangsa Indonesia dalam mempertahankan nasionalisme serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Tahun ini saja bertubi-tubi tantangan keutuhan nasional dan ancaman atas kebanggaan pada nasionalisme bangsa ini berlangsung di depan mata.

Sebut saja mulai dari serangan teroris 14 Januari dan ancaman kelompok teroris lain yang masih bersembunyi di banyak tempat, intervensi pengaruh dan pasar asing serta "serbuan" tenaga kerja asing, bahkan tenaga kerja asing ilegal.

Lalu bahaya laten penyalahgunaan narkoba yang telah menghinggapi seluruh lapisan masyarakat, dari rakyat biasa hingga pejabat tinggi bahkan prajurit dan perwira TNI/Polri.

Belum lagi "tikus-tikus" dari kalangan penyelenggara negara dan pengusaha yang menggerogoti keuangan negara, tak memiliki malu mengangkangi hukum, menghalalkan segala cara untuk mengumbar keserakahan mendapatkan kekayaan materi.

Infiltrasi asing yang menyerang pilar bangunan sosial budaya seperti merebaknya penyimpangan orientasi seksual seperti lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dan pola hidup hedonisme, pornografi dan pornoaksi, merebaknya pengaruh kebarat-baratan yang kian menjauhkan dari norma agama yang dijunjung tinggi bangsa religius ini.

Nilai tukar rupiah atas mata uang dolar AS yang masih belum menguat, utang luar negeri Indonesia sekitar Rp3.953 triliun per Februari 2016 berdasarkan data Bank Indonesia, melebih angka pendapatan APBN 2016 sebesar Rp1.822,5 triliun.

Tak luput juga, pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mengancam produk dan jasa Indonesia dalam bersaing bebas dengan negara ASEAN lain. Belum lagi pasar bebas dunia yang berpengaruh pada keunggulan daya saing Indonesia.

Dalam "Global Competitiveness Report 2015-2016" versi "World Economic Forum" (WEF) atau Forum Ekonomi Dunia, peringkat daya saing ekonomi Indonesia turun dari urutan ke-34 pada 2014-2015 menjadi ke-37 dari 140 negara.

Tak ketinggalan para pengemplang pajak atau mereka yang melarikan dan menyimpan modalnya di luar negeri juga menjadi salah satu masalah dalam menjaga nasionalisme.

Bila kita bertanya pada para pendiri Boedi Oetomo yang mengawali era Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 1908, kira-kira apa pandangan mereka terhadap perjalanan bangsa Indonesia kini?

Sembilan pelajar sekolah dokter alias STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlandsche Artsen) yang merupakan pendiri Boedi Oetomo, yakni, Soetomo, Mohammad Soelaiman, Gondo Soewarno, Goenawan Mangoenkoesoemo, R. Angka Prodjosoedirdjo, Mochammad Saleh, R. Mas Goembrek, Soeradji Tirtonegoro, dan Soewarno, memang telah tiada.

Tampaknya pertanyaan itu hanya bisa disampaikan kepada pemimpin bangsa ini yang merupakan para penerus dari bapak dan ibu pendiri bangsa.
    
Bangsa besar
Presiden Joko Widodo, pemimpin bangsa Indonesia saat ini, kerap kali mengingatkan bahwa Indonesia merupakan negara besar yang diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Bangsa besar yang mampu bersaing dengan negara manapun.

Dalam lawatannya di Berlin, Jerman, bulan lalu, misalnya, Kepala Negara menegaskan bahwa kita ini negara besar, itu yang sering kita lupa karena sering memposisikan diri sebagai bangsa kecil. Jokowi menyebutkan penduduk Indonesia sekitar 252 juta jiwa dan hidup di 17 ribu pulau.

Pernyataan Kepala Negara dalam pertemuan dengan warga negara Indonesia di Berlin, Jerman, pada 18 April lalu itu bisa menggambarkan bahwa seberat dan sebanyak apapun persoalan ujian dan tantangan yang merongrong Indonesia, tetapi bangsa ini akan dapat mengatasinya.

Saat terjadi serangan teroris di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, 14 Januari lalu, misalnya, Jokowi langsung menyerukan kepada seluruh rakyat untuk tidak boleh takut dan kalah dengan aksi teror seperti itu.

Pernyataan itu bersambut dengan perlawanan masyarakat terhadap aksi teroris, di berbagai media sosial. Negara bersama rakyatnya benar-benar bersatu.

Sebulan kemudian setelah serangan teroris itu, Presiden Jokowi membagi pengalaman ketika tampil menjadi pembicara mengenai cara Indonesia dalam menangani dan memberantas aksi terorisme dan ektremisme di hadapan forum KTT AS-ASEAN di Sunnylands, AS, pada 16 Februari lalu.

Pengalaman dan penanganan Indonesia menjadi rujukan bagi banyak negara lain dalam memerangi terorisme. Kombinasi penggunaan "hard power" dan "soft power" dibutuhkan dalam mengatasi terorisme, ekstremisme, dan radikalisme.

Pidato Kenegaraan Presiden Jokowi tahun lalu juga telah disebutkan bahwa sebagai negara berdaulat, kita harus menyadari bahwa sejatinya kita saat ini sedang "perang".

Bukan perang fisik seperti yang dilakukan oleh para pahlawan pejuang kemerdekaan tetapi perang untuk memenangi perdamaian, kesejahteraan, dan kehidupan rakyat yang bahagia.

Kemenangan perang untuk memuliakan rakyat tersebut hanya akan terwujud kalau seluruh elemen dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia khususnya Lembaga-lembaga Negara, bersatu padu dan tidak terjebak pada ego masing-masing. Secara bersama-sama kita perkuat kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian dalam kebudayaan.

Trisakti harus menjadi strategi utama dalam membendung upaya-upaya bangsa lain untuk merongrong kedaulatan, kesejahteraan, dan karakter bangsa Indonesia.

Melihat modal sosial dan ekonomi dimiliki, peluang Indonesia untuk menjadi negara maju dan sejahtera sebenarnya terbuka lebar.

Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote, adalah negeri dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, negeri demokrasi terbesar ketiga di dunia.

Dalam hal berdemokrasi, Indonesia telah menjadi salah satu contoh gemilang di dunia. Dibandingkan dengan tahun 2013, indeks demokrasi Indonesia naik dari 63,72 menjadi 73,04 pada tahun 2015.

Bangsa ini juga memiliki pemilih muda yang kritis, dan bersemangat mengawal jalannya demokrasi dan pemerintahan.

Indonesia juga mempunyai jumlah kelas menengah yang signifikan dan akan terus bertambah seiring dengan bonus demografi yang sedang dan akan kita nikmati.

Dalam 15 tahun terakhir, Indonesia juga mengalami lonjakan produk domestik bruto, dari sekitar 1.000 triliun rupiah, menjadi sekitar 10 ribu triliun rupiah dan menjadi kekuatan ke-16 ekonomi dunia. Kini Indonesia duduk sejajar dengan negara-negara maju di Forum G-20.

Semua itu menunjukkan bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Sebagai bangsa yang besar, harus percaya diri, harus optimistis bahwa Indonesia dapat mengatasi segala persoalan yang menghadang di hadapan bangsa ini.

Selama ini berbagai kalangan kerap terjebak pada pemahaman bahwa melambannya perekonomian global, yang berdampak pada perekonomian nasional adalah masalah paling utama. Padahal kalau dicermati lebih seksama, menipisnya nilai kesantunan dan tata krama, juga berbahaya bagi kelangsungan hidup bangsa.

Menipisnya budaya saling menghargai, mengeringnya kultur tenggang rasa, baik di masyarakat maupun institusi resmi seperti lembaga penegak hukum, organisasi kemasyarakatan, media, dan partai politik, menyebabkan bangsa ini terjebak pada lingkaran ego masing-masing.

Hal ini tentu saja menghambat program aksi pembangunan, budaya kerja, semangat gotong royong, dan tumbuhnya karakter bangsa.

Tanpa kesantunan politik, tata krama hukum dan ketatanegaraan, serta kedisiplinan ekonomi, kita akan kehilangan optimisme, dan lamban mengatasi persoalan-persoalan lain termasuk tantangan ekonomi yang saat ini sedang dihadapi bangsa Indonesia. Kita akan miskin tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan kerja keras, optimisme, dan mengubah sikap konsumtif menjadi produktif, kita akan bermartabat di antara bangsa-bangsa di dunia.

Percepatan untuk menjadi negara adil dan makmur tersebut, tentu dengan dukungan seluruh rakyat Indonesia, sangat ditentukan oleh kinerja dan kekompakan lembaga-lembaga negara. Kekompakan tersebut juga akan memperkuat sistem presidensial sehingga pemerintahan menjadi stabil.

Bela negara
Upaya lain yang perlu dilakukan terus menerus dalam memperkokoh nasionalisme adalah bela negara.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa sikap bela negara bukan hanya menyangkut perang melawan musuh melainkan memperkuat bangsa Indonesia dari segala hal.

Bela negara tidak berarti hanya untuk berperang, tetapi lebih luas dari itu, yakni bagaimana memperkuat bangsa ini dari segala hal yang penting. Misalnya, penguatan di bidang ekonomi menjadi salah satu bentuk perwujudan bela negara.

Hal itu dapat dilakukan dengan menciptakan kedaulatan pangan lokal di masing-masing daerah. Ekonomi juga harus kuat karena tidak ada negara yang kuat dan dihormati apabila masyarakatnya tidak mampu, kekurangan makanan, dan sebagainya.

Penguatan pendidikan juga menjadi bentuk lain dalam penguatan bela negara. Tidak ada negara yang kuat membela diri apabila tingkat pendidikan rakyat tidak tinggi dan tidak baik.

Apel bela negara dengan tema "Tekad Bela Negara dengan Karya dan Revolusi Mental" di Stadion Letjen H Soedirman Bojonegoro, Jatim pada 17 Mei lalu yang dipimpin Jusuf Kalla, tampaknya bisa menjadi momentum untuk membangkitkan kembali semangat nasionalisme dan kecintaan pada Tanah Air.

Kegiatan tersebut dihadiri pula oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, Gubernur Jatim Soekarwo, dan sekitar 15 ribu peserta dari jajaran TNI, Polri, Satlinmas, pelajar, mahasiswa, guru, pegawai negeri sipil, dan anggota organisasi kemasyarakatan.

Apel bela negara bakal berlangsung di berbagai daerah lain untuk menyegarkan kembali jiwa dan semangat patriotik serta cinta Tanah Air dalam mengukuhkan nasionalisme.
Apel bela negara diisi pula dengan pembacaan deklarasi yang berisi tujuh butir program menyangkut kedaulatan pangan, kedaulatan energi, ramah HAM, revolusi mental, ketahanan bencana, tujuan pembangunan berkelanjutan, dan kemitraan pemerintahan yang terbuka bersama rakyat.

Dengan nawacita dan revolusi mental, Presiden Jokowi menakhodai kebangkitan nasional pada era kepemimpinannya.

Kondisi pergerakan Kebangkitan Nasional 1908 masih menghadapi kekuasaan kolonial Belanda yang baru bisa rakyat Indonesia rebut pada 1945, kini Kebangkitan Nasional semestinya tinggal mengisi dan melanjutkan kemerdekaan itu, jangan sampai menjadi bangsa yang "terjajah" di negeri sendiri, terjajah oleh ujian demi ujian yang berulang.

Sejarah telah mengajarkan kepada bangsa Indonesia, kunci untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut adalah persatuan. Persatuan! (*)

Pewarta: Budi Setiawanto

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016