Jember (Antara Jatim) - Puluhan jurnalis dan mahasiswa pegiat pers kampus Kabupaten Jember berdemonstrasi menolak kekerasan terhadap jurnalis dalam rangka memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia yang digelar di bundaran DPRD Kabupaten Jember.

Elemen jurnalis yang melakukan aksi merupakan gabungan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Forum Wartawan Lintas Media (FWLM), dan para aktivis pers mahasiswa di Jember.

"Sejauh ini masih ada pihak-pihak yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis, bahkan data AJI Jember mencatat sepanjang 3 Mei 2015 hingga 3 Mei 2016 terdapat tiga kasus kekerasan yang dialami jurnalis," kata anggota AJI Jember, Alifian di sela orasinya.

Sedangkan catatan AJI Indonesia, sepanjang tahun 2015 angka kekerasan terhadap jurnalis sebanyak 44 kasus dan jumlah tersebut meningkat dibandingkan angka kekerasan terhadap jurnalis pada tahun 2014 sebanyak 40 kasus.

Menurut dia, kasus yang menyita perhatian publik yakni teror ancaman pembunuhan kepada tiga jurnalis di Kabupaten Lumajang pada 5 November 2015 karena menulis masalah kasus Salim Kancil dan tambang pasir di sana.

"Krisis kebebasan berpendapat dan berekspresi ditandai pula dengan pelarangan diskusi 'Setengah Abad Gendjer-gendjer' yang digelar Himpunan Mahasiswa Sejarah Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi pada 1 Oktober 2015 dan pelarangan pemutaran film 'Prahara Tanah Bongkoran' yang dilaksanakan AJI Jember dan Komunitas Layar Kamisan di Banyuwangi pada November 2015," tuturnya.

Sementara koordinator FWLM Jember Mahrus Sholih mengatakan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah memberikan jaminan atas kemerdekaan pers, sehingga upaya menghalang-halangi aktivitas jurnalistik merupakan tindak pidana yang bisa dihukum penjara 2 tahun atau denda Rp 500 juta.

"Masih tingginya angka kekerasan menunjukkan narasumber dan masyarakat tidak punya itikad untuk mendukung pers yang merdeka, padahal UU Pers telah mengatur mekanisme sengketa pers dengan hak jawab dan pengaduan ke Dewan Pers," katanya.

Ia menjelaskan kebebasan warga negara dan pers terampas karena kehadiran undang-undang yang berpotensi membatasi kebebasan berpendapat dan pers seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Intelijen dan RUU Kerahasian Negara yang bertentangan dengan UU Keterbukaan Informasi Publik. 

Perwakilan Persma Jember, Agung mengatakan masih ada pembatasan berkarya dan berekspresi di dunia kampus, sehingga momentum Hari Kebebasan Pers Sedunia merupakan tonggak mahasiswa dan jurnalis untuk bersatu menolak adanya pembredelan dan pembatasan karya jurnalistik.

"Dengan tegas, kami menolak pembatasan berekspresi, pembredelan dan pembatasan karya pers mahasiswa oleh pejabat kampus," ucap mahasiswa FISIP Universitas Jember itu.

Aliansi Jurnalis dan Persma Jember menuntut aparat keamanan, pemerintah, dan masyarakat untuk menghentikan kekerasan terhadap jurnalis karena ketidakpuasan terhadap pemberitaan harus menggunakan hak jawab.

Kemudian juga mendesak perusahaan media agar memberikan perlindungan hukum bagi jurnalisnya yang rentan menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi, serta mendesak semua pihak untuk menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi setiap warga negaranya seperti yang diatur undang-undang.(*)

Pewarta: Zumrotun Solichah

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016