Tulungagung, (Antara Jatim) - Keindahan panorama kolam air asin alami yang terbentuk di atas deretan batuan tebing dengan latar lautan bebas menjadi pesona khas naneksotis yang mungkin hanya bisa ditemukan di Pantai Kedung Tumpang, Tulungagung.

Terletak di ujung timur pesisir selatan Kabupaten Tulungagung, Jatim, pantai yang baru ramai diperbincangkan di media sosial pada medio 2015 ini seakan menjadi destinasi wisata baru di daerah tersebut.

Volume kunjungan wisatawan pun konon meningkat tajam. Dari semula hanya hamparan pantai batu karang yang terpencil di balik belantara hutan lindung, kini Kedung Tumpang berubah menjadi tujuan wisata nasional bahkan mancanegara.

Sehari pada musim libur sekolah atau hari raya/besar keagamaan, misalnya, angka kunjungan di kawasan pantai yang berjarak sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Tulungagung atau sekitar 35 kilometer dari Kota Blitar bisa mencapai belasan ribu orang.

Angka lebih kecil terjadi pada hari libur biasa. Namun, tetap saja membuat objek wisata baru unggulan Tulungagung tersebut selalu ramai wisatawan. Maklum saja, lokasinya boleh dibilang masih terpencil, yakni terletak di Desa Pucanglaban, Kecamatan Pucanglaban.

Untuk mencapai pantai yang 100 persen berisi tebing dan batuan karang ini pun tidak mudah.

Pengunjung dari Surabaya yang memilih jalur menuju Kabupaten Tulungagung, misalnya, masih harus menempuh perjalanan darat ke arah timur laut sekitar sejam untuk sampai di Desa Pucanglaban.

Pilihan jalur bisa juga melalui kota/kabupaten Blitar yang memang berbatasan dengan kawasan pesisir Pucang Laban.

Sesampainya di Desa Kedung Tumpang, pengunjung bermobil harus menempuh perjalanan titik lokasi pemberhentian atau parkir kendaraan bermotor dengan naik ojek karena medannya yang hanya bisa ditempuh menggunakan motor.

Harga sewa ojek di Desa Kedung Tumpang ini terakhir dipatok di kisaran Rp20 ribu-Rp25 ribu sekali jalan. Dari titik parkir atau pemberhentian terakhir inilah tantangan wisata "adrenalin" Kedung Tumpang dimulai.

Sebab, pengunjung wajib jalan kaki menembus belantara hutan dengan kemiringan lereng tebing cukup curam. Di beberapa titik turunan, pengunjung atau wisatawan bahkan harus menuruni bukit dengan kemiringan mencapai 70 persen lebih dengan bantuan tali.

Melelahkan, itu pasti. Keringat dijamin bercucuran saat melalui rute tersebut, apalagi saat naik atau kembali lokasi pantai. "Fuihh...., cuapek pol," begitu ucap pengunjung dari Surabaya bilang dengan Bahasa Indonesia logat campuran.

Tetapi begitu sampai di lokasi Pantai Kedung Tumpang, dalam kondisi seletih apapun pengunjung akan dibuat berdecak kagum.

Deretan kolam air asin alami di atas tebing dengan latar debur ombak memecah di batuan karang menjadi panorama yang mungkin tidak akan ditemui di tempat lain.

Tak heran jika banyak wisatawan yang memanfaatkan keindahan panorama itu untuk mandi di tengah kolam alami tersebut, atau sekadar berfoto selfie dari atas tebing.

Tapi jika tidak punya cukup adrenalin mengenal karakter ombak di kawasan ini, tidak disarankan untuk bermain air di kawasan kedung apalagi berdiri di ujung tebing.

Sebab, ombak besar bisa tiba-tiba datang dan menghantam tebing karang tempat di mana sejumlah remaja dan wisatawan bermain air area kedung.

Pemandangan itu jamak terjadi terutama di Kedung Gede atau biasa disebut dengan istilah Kolam Bidadari, salah satu kolam utama menyerupai ceruk di pesisir Pantai Kedung Tumpang.

Suaranya menggelegar dan sesaat membuat ciut nyali, sementara pecahan ombak membentuk lidah air yang seolah, siap "menelan" siapa saja yang ada dan berdiri di dekatnya.

Membayangkan saja rasanya ngeri, apalagi di tebing karang yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.

Deburan ombak yang memecah hingga muncrat ke atas batuan karang rupanya menjadi latar yang eksotis bagi para wisatawan itu mendapat foto lanskap ataupun potrait di sekitar kolam air asin alami yang terbentuk sejak beribu-ribu tahun di atas tebing batuan karang pesisir Pantai Kedung Tumpang tersebut.

Selain Kedung Gede atau Kolam Bidadari, kawasan pesisir Kedung Tumpang yang memiliki kontur pantai 100 persen batuan karang memiliki dua kolam air asin alami lain yang tak kalah menarik, yakni Kedung Jani dan Kedung Pawonan. Kedung atau kolam yang disebut terakhir ini memiliki pola kolam mirip tapak kaki raksasa.

Satu kolam memanjang dengan pola tidak beraturan diikuti lima kolam kecil di ujungnya yang berhadapan langsung dengan laut bebas, sehingga jika dilihat dari atas mirip tapak kaki manusia raksasa.

Mau mandi dan berenang di kolam-kolam alami yang konon menurut hikayat warga menjadi tempat pemandian para bidadari yang turun dari surga itu? Boleh saja jika memang memiliki cukup nyali untuk mengadu adrenalin.

Penjaga pantai atau biasa disebut dengan "Boy Wood" siap mengawasi untuk memastikan keselamatan pengunjung jika mendekati area berbahaya, atau saat ombak mulai kurang bersahabat.

"Selama laut tidak sedang mengalami kondisi (air) pasang, kolam-kolam air asin yang ada di Kedung Gede, Kedung Jani maupun Kedung Pawonan masih relatif aman untuk aktivitas berenang," ucap Poit Hadi Wijaya, salah satu "Boy Wood" atau penjaga pantai di wilayah pesisir pantai Kedung Tumpang.

Namun, Poit tetap mengingatkan pada wisatwan agar hati-hati karena sesekali ombak besar datang tidak terduga sehingga air laut naik ke atas kolam.

Fenomena keunikan wahana kolam air asin alami Kedung Tumpang hanyalah penggalan kecil zamrud pesisir selatan Pulau Jawa yang mulai terkuak, seiring pembangunan jalur lintas selatan (JLS) oleh pemerintah pusat.

Pacitan lebih dulu membuktikan bagaimana infrastruktur yang baik mampu mendongkrak perekonomian daerah maupun kemajuan sektor pariwisata dan kemaritiman.

Hal serupa diyakini akan menular di sepanjang kawasan pesisir lain, termasuk di Tulungagung, seiring kemajuan proses pembangunan JLS yang menjadi bagian program pembangunan koridor selatan Jawa oleh pemerintah pusat.(*)

Pewarta: Destyan H. Sujarwoko

Editor : Chandra Hamdani Noer


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016