Surabaya (Antara Jatim) - Bagi kalangan pesantren, pernyataan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol Budi Waseso tentang "vitamin" narkoba masuk pesantren bagaikan tersambar petir.

"Pimpinan pesantren saya kumpulkan karena sudah masuk kalangan santri, khususnya di Jawa Timur. Santri, dia itu zikir dari pagi ke pagi pakai ekstasi, bukan cuma santrinya tapi kyainya juga," ungkap Budi Waseso yang mantan Kabareskrim Polri ini saat menerima kunjungan kerja pimpinan MPR di Gedung BNN, Cawang, Jakarta Timur, 4 Maret 2016.

"Lebih darurat narkoba ketimbang terorisme. Pemberantasan terorisme lebih mudah daripada narkoba karena gerakannya lebih nyata. Begitu beraksi, pelaku teroris mudah ditangkap atau ditembak," ucapnya.

Saat itu pula, jenderal berbintang tiga tersebut meminta para pemimpin pesantren membantah bila pernyataannya adalah bohong, lalu seorang santri bernama Abdul Wahab "membalas" pernyataan itu melalui surat elektronik (surel).

Santri yang akrab disapa Kang Wahab itu pun menulis surel berjudul "Surat Terbuka Seorang Santri Pada Yth. Kepala BNN, Komjen Budi Waseso" yang diunggah melalui Facebook (FB) pada 12 Maret 2016.

"Hati ini mak-jleb rasanya seakan tertusuk linggis, manakala membaca sebuah berita yang berjudul 'Komjen Buwas : Saat Ini Ada Ekstasi Dipakai Zikir Di Pesantren'," tulisnya.

Santri yang mengaku hanya pekerja "distro" dan sedang mendakwahkan Islam Ramah di Papua itu mengibaratkan siap mencabut Gunung Jayawijaya dari akarnya sebagai wujud ketidakterimaannya.

"Sakit hati sebagai santri belum hilang, waktu Pak Luhut Panjaitan juga mengatakan hal yang hampir sama. Ini menunjukkan bahwa masih banyak dari bangsa ini belum mengenal betul apa sebenarnya kaum santri, kiai dan pondok pesantren," tulisnya.

Sebagai seorang yang pernah hidup di pesantren, ia mengaku gelisah, karena pernyataan tersebut kesannya menggeneralisasi tanpa ada pernyataan pengkhususan atau pengecualian.

"Kalau toh memang benar ada pesantren yang seperti itu, tolonglah ada pernyataan bahwa tidak semua santri, kiai dan pesantren seperti itu. Tolong disampaikan pesantren mana yang melakukan hal semacam itu, agar masyarakat juga tidak gelisah ketika akan menyerahkan pendidikan anaknya ke pesantren," tulisnya.

Agaknya, "curhat" (curahan hati) Kang Wahab itu patut direnungkan oleh para elite agar tidak hanya karena nila setitik, maka susu sebelanga menjadi rusak semuanya, sebab pesantren itu sebenarnya mengajarkan hidup yang jauh dari kenyamanan.

Apalagi, Komjen Pol Budi Waseso akhirnya menyebutkan bahwa temuannya itu hanya ada pada satu pesantren dan santri yang dimaksud sudah dalam proses rehabilitasi.

Meski dirahasiakan, informasi yang diterima Antara dari sebuah sumber di BNN menyebutkan pesantren dimaksud ada di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.

Namun, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep justru belum tahu dan meminta Kepala BNN Komjen Pol Budi Waseso untuk memperjelas pernyataannya.

"Pernyataan tersebut membuat pengurus, warga NU, dan pengasuh pondok pesantren (ponpes) di Sumenep, bingung, dimana adanya santri yang berperilaku seperti itu," kata Sekretaris PCNU Sumenep, A Warits, 12 Maret 2016.

Warits menilai pernyataan pimpinan BNN itu menimbulkan opini yang tidak enak tentang santri dan ponpes secara umum. "Jangan mengeluarkan pernyataan secara global atau umum, karena ini persoalan sensitif bagi kami dan NU," katanya.

    
Proporsionalitas

Langkah antisipasi terhadap penyalahgunaan narkoba melalui sebuah "benteng" dalam berbagai model itu sangat penting, mengingat bisnis narkoba yang diperkirakan beromzet besar, sekitar Rp63 triliun per-tahun, sehingga mendorong orang menghalalkan segala cara.

Langkah antisipasi itu antara lain dilakukan BNN Kota Kediri dengan membuat kurikulum pendidikan P4GN (pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika) terintegrasi.

"Artinya, materi itu masuk ke dalam setiap materi pelajaran di sekolah. Jadi, ada sisipan terkait dengan narkoba serta bahaya penyalahgunaannya dalam pelajaran," tutur Kepala BNN Kota Kediri AKBP Lilik Dewi Indarwati.

Tidak ketinggalan, masyarakat juga harus berperan aktif melakukan antisipasi itu, terutama keluarga, sekolah, pesantren, serta lingkungan anak-anak muda itu sendiri

Apalagi, temuan BNN di sebuah pesantren di Sumenep itu bukan tidak mungkin diakibatkan ketidaktahuan atau tertipu dan bukan ada unsur sengaja memakai.

Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) menilai masuknya narkoba ke pesantren menunjukkan sosialisasi antinarkoba di kalangan santri masih rendah sehingga mereka bisa tertipu, sebab ada informasi bahwa oknum santri yang menikmati "narkoba" itu menganggapnya sebagai "vitamin" untuk kuat berzikir.

"Padahal, ragam dan jenis narkoba itu makin banyak dari waktu ke waktu sehingga perlu perhatian serius dari pemerintah agar tak terulang," kata Wakil Ketua Umum PP IPNU Imam Fadlli di Surabaya, 22 Maret 2016.

Mengutip pernyataan tertulis dari Ketua Umum PP IPNU Asep Irfan Mujahid, dia menjelaskan bahwa model peredaran narkoba yang berevolusi dalam beragam cara dan modus patut diwaspadai dengan intensif.

"Untuk itu, BNN harus merangkul semua 'stakeholder' (pemangku kepentingan) sebagai langkah preventif karena narkoba sudah menjadi ancaman bagi semua kalangan tanpa memandang latar belakang apa pun," katanya.

Selain IPNU, Asosiasi Pesantren atau Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) Jawa Timur juga menyatakan siap membantu Badan Nasional Narkoba Provinsi (BNNP) Jawa Timur untuk program pesantren bebas narkoba.

"RMI Jatim akan membantu BNNP Jatim masuk dan memberikan sosialisasi tentang pemahaman anti-narkoba di 7.216 Pondok Pesantren Jawa Timur karena Pondok Pesantren tidak akan mau menjadi tempat peredaran narkoba," kata Sekretaris RMI Jatim, Ahmad Firdausi, di Surabaya, 21 Maret 2016.

Ia menyatakan Pondok Pesantren di Jawa Timur memiliki jaringan santri, pengasuh dan alumni yang siap untuk membantu program penanggulangan peredaran narkoba berbasis Pesantren sebagai upaya untuk meningkatkan pemahaman santri dan pengurus Pesantren.

"Pesantren Jawa Timur akan menjalin kerja sama untuk meningkatkan kemampuan sekaligus wawasan santri sebagai wujud peran santri mampu menjadi benteng pertahanan negara tentang antikorupsi, kebersihan dan antinarkoba," katanya.

Terkait hal itu, Kepala Divisi Bidang Pencegahan BNNP Jatim, Danang Sumiharta, memberikan tanggapan positif tentang Pesantren yang mau terbuka untuk bekerja sama dengan pihaknya.

"Program penanganan narkoba masuk ke Pesantren itu bisa melalui tiga tahapan yakni, mencetak kader antinarkoba, memperbanyak penyuluh antinarkoba dan mengembangkan materi khutbah Jumat antinarkoba," katanya dalam peringatan Hari Lahir Ke-61 IPPNU (20/3).

Dengan begitu, pengguna narkoba bisa "dibentengi" dari pendekatan religi yang memerhatikan akhlak, memahami bahaya narkoba untuk kesehatan, menyoal bentuk narkoba yang sangat beraneka, hingga mencegah pengguna yang merugikan orang lain (kriminalitas).

Namun, proporsinalitas dalam mencuatnya "vitamin" narkoba masuk pesantren juga sama pentingnya dengan "benteng" itu, mengingat satu pesantren tidak dapat dianggap mewakili belasan ribu pesantren dan satu oknum santri pun tidak dapat dianggap mewakili jutaan santri. Apalagi, oknum santri itu menyangka "vitamin". (*).

Pewarta: Edy M Yakub

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2016