Surabaya  (Antara Jatim)  -  Masyarakat Indonesia bisa jadi kini sudah mulai akrab dengan istilah Masyarakat Ekonomi  ASEAN atau MEA,  karena menurut rencana 1 Januari 2016  pasar tunggal negara-negara Asia Tenggara tersebut akan diberlakukan.

Pemberlakuan pasar tunggal negara-negara Asia Tenggara ini tentu dibarengi dengan berbagai peluang sekaligus tantangan yang mungkin timbul karenanya. Peluang dan tantangan itu di antaranya adalah terkait dengan penyediaan properti, tempat hunian.

Era MEA, dalam bayangan masyarakat, ada yang datang, tapi ada pula yang pergi. Artinya, ada pelaku usaha dari negara lain yang datang untuk melakukan penetrasi pasar di Indonesia, tapi ada pula pelaku usaha Indonesia yang pergi ke negara lain untuk melakukan ekspansi bisnisnya.

Indonesia dengan penduduk sekitar 250 juta merupakan pasar potensial bagi pelaku bisnis. Pelaku usaha Indonesia tidak hanya bisa menggarap pasar domestik, tapi juga berpeluang untuk masuk ke pasar Asean. Untuk meraih pasar, kuncinya memiliki daya saing yang kuat.

Di era MEA  diperkirakan akan terjadi aliran barang (flow of goods), aliran jasa (flow of services), aliran tenaga kerja terampil (flow of skill labour), serta aliran modal dan investasi (flow of capital and investment). Aliran tersebut dipastikan akan dibarengi dengan mobilisasi orang.   

Mobilisasi masyarakat ASEAN yang begitu tinggi diperkirakan akan merangsang tumbuhnya bisnis yang terkait dengan properti, khususnya apartemen atau kondominium, seperti halnya telah berkembang di negara-negara padat penduduk dan lahan relatif terbatas yakni Hongkong.

Sebelum pesawat terbang mendarat di Bandara Chek Lap Kok yang menggantikan Bandara Internasional Kai Tak, maka terlihat bangunan apartemen tinggi  menjulang tersebar hampir di seluruh Hongkong. Tidak mudah menemukan permukiman penduduk secara horisontal layaknya di Indonesia.

 Warga Hongkong tinggal di apartemen-apartemen. Kepadatan penduduk Hongkong sangat tinggi, yakni sekitar 7 juta jiwa, sedangkan luas lahan 1.104 kilometer persegi.

Surabaya memang bukan Hongkong, tapi belakangan ini di "Kota Pahlawan" telah tumbuh bangunan-bangunan baru menjulang tinggi, yaitu apartemen. Puluhan bangunan apartemen telah berdiri di kota ini.        

Contohnya, Apartemen Bale Hinggil yang dibangun PT Tlatah Gema Anugrah, Grand Sungkono Lagoon yang dibangun PT Pembangunan Perumahan Tbk,  apartemen-apartemen yang dibangun Grup Puncak, apartemen Tamansari Papilio, apartemen yang dibangun Grup Ciputra, Pakuwon Grup, Gunawangsa Grup dan lainnya.

Pemasaran unit-unit apartemen di Surabaya tersebut belakangan gencar dilakukan. Dengan konsep dan segmen masing-masing, mereka menawarkan unit-unit apartemen yang bagi sebagian masyarakat Indonesia belum terbiasa.    
 
Bale Hinggil misalnya, apartemen di Jalan Dr Ir H Soekarno Surabaya ini mempunyai konsep  sebagai apartemen modern untuk memenuhi kebutuhan masyarakat metropolis dengan pangsa pasar kelas menengah  dan menengah atas. Pengembang apartemen ini menawarkan ruang sekitar 2.800 unit  dengan harga mulai 300-an  juta rupiah.

Sedangkan Grand Sungkono Lagoon di Jalan Abdul Wahab Siamin Surabaya mengusung konsep "smart home technology for smart people" yang menawarkan berbagai kemudahan bagi penghuninya untuk menggunakan teknologi guna mengontrol berbagai fitur  di apartemen seperti pendingin ruangan,  security (door key), cctv monitor dan lainnya.

Hal yang sama juga dilakukan manajemen apartemen Tamansari Papilio di Jalan A Yani Surabaya yang menjadikan "one stop living" sebagai konsepnya.  Apartemen Tamansari Papilio yang ditawarkan dengan harga mulai 300-an juta rupiah ini menawarkan inspirasi kesempurnaan hidup.

Artinya, apapun  konsepnya, para pengembang yang membangun apartemen-apartemen di Surabaya tersebut berusaha menjual keunggulan-keunggulannya untuk menarik minat konsumen.

Kendarti saat ini yang disasar merupakan konsumen menengah atas, tapi sangat mungkin ke depan segmen menengah bawah juga menjadi pangsa pasar. Apalagi saat ini mendapatkan hunian (landed house) di Surabaya dengan harga relatif terjangkau sudah sangat sulit.

Meningkat

Direktur Grup Ciputra Sutoto Yakobus dalam suatu kesempatan mengakui bahwa tingkat kebutuhan apartemen di Surabaya kini cenderung meningkat kendati pembangunan hunian jenis ini belum segencar di Jakarta.

”Saya mencermati permintaan apartemen terus meningkat. Perekonomian Jatim yang terus tumbuh menghasilkan kelompok eksekutif baru yang butuh apartemen untuk kepentingan tempat tinggal sekaligus pemenuhan gaya hidup,”  kata Sutoto.

Menurut Research Colliers International, jumlah apartemen yang masuk ke Surabaya hingga Desember 2014 sebanyak 18.153 unit, sedangkan data lainnya memprediksikan sampai akhir tahun 2015 pasokan apartemen di Jakarta akan mencapai 155.889 unit.

Sedangkan adanya kecenderungan meningkatnya hunian apartemen di Surabaya bisa digambarkan dari data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil) Surabaya yang menyebutkan warga negara asing yang memohon Surat Keterangan Tempat Tinggal (SKTT) hingga Mei 2015 sebanyak 696 pemohon.

Sedangkan jika menurut Kepala Bidang Penempatan, Pembinaan, dan Pengembangan Tenaga Kerja Asing Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Surabaya Irna Pawanti jumlah tenaga kerja asing di Surabaya mencapai 13 ribuan.

Kepala Seksi Mutasi WNI dan WNA Dispendukcapil Surabaya Relita Wulandari mengatakan, sebagian besar WNA yang masuk ke "Kota Pahlawan"  untuk bekerja. Para WNA yang sebagian besar berasal dari Jepang, Tiongkok dan India itu masuk dalam perusahaan besar  dan tinggal di apartemen. Mereka adalah kalangan ekspatriat.

Sementara itu, apartemen baru yang belakangan dibangun di Surabaya sebagian besar ditujukan untuk dijual, bukan disewakan seperti apartemen yang dibangun sebelumnya. Begitu juga kawasan pembangunannya yang sebelumnya Surabaya barat menjadi idola pengembang, kini kawasan lain juga dilirik, baik Surabaya timur maupun selatan.

Sedangkan dari sisi konsumen, pengembang selama ini membagi segmen konsumen menjadi dua yakni  "special need"  dan pemenuhan gaya hidup.  Segmen "special need" contohnya adalah  apartemen dekat universitas, sehingga tidak mengutamakan fasilitas penunjang seperti pusat perbelanjaan, sedangkan segmen untuk pemenuhan gaya hidup harus memenuhi keamanan, kenyamanan dan menyenangkan.

Menurut sejumlah sumber menyatakan minat pasar terhadap apartemen di Surabaya sebenarnya cukup tinggi, meskipun belakangan terdampak lesunya ekonomi sehingga serapan juga terpengaruh. Makro ekonomi kurang bergairah, menyebabkan kemampuan daya beli konsumen juga melemah.

Konsultan properti Colliers International bahkan menyebutkan periode semester I tahun 2015 merupakan masa yang sulit bagi pengembang dalam melakukan penjualan apartemen karena beragam faktor perekonomian yang memengaruhi sektor properti.

Associate Director Colliers International Indonesia Ferry Salanto dalam acara paparan pers belum lama ini mengatakan faktor depresiasi atau melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan pertumbuhan ekonomi yang melambat merupakan penyebab utama terjadinya kelesuan dalam penjualan pasar apartemen.

Sementara itu, Ketua Umum DPP Real Estate Indonesia  (REI) Eddy Hussy dalam sebuah diskusi dengan media di Sentul City, Bogor, beberapa waktu lalu justru menyoroti MEA sebagai momentum bagi Indonesia membuka kran kepemilikan asing yang hingga kini masih wacana.  

Jika kepemilikan properti oleh asing dapat diberlakukan, maka pendapatan negara akan berlimpah dari transaksi tersebut. Penerimaan dari pajak akan lebih maksimal  serta bisa mendorong pertumbuhan ekonomi  dari penyerapan tenaga kerja dan penggunaan bahan bangunan.

Apalagi properti di Indonesia jauh lebih murah ketimbang di negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam,  meskipun dari konsep dan desainnya tak kalah dengan properti yang ada di negara-negara tersebut.     

REI mengusulkan adanya pembatasan harga dan jenis properti jika asing dapat membeli properti di Indonesia. Misalnya, asing hanya diperbolehkan membeli apartemen dengan harga jual minimal Rp10 miliar sehingga segmentasi pasarnya jelas, asing tidak boleh memiliki properti segmen menengah bawah dan rumah tapak (landed house).

Eddy Hussy juga menegaskan berlakunya era MEA seyogyanya dimanfaatkan secara maksimal. Dengan demikian, pengembang tidak menjadi penonton di negeri sendiri dan tidak terhambat memasuki pasar negara ASEAN.

"Prinsipnya kami (REI) tak hanya mengawal peraturan pemerintah, tapi juga menyangkut para pengembang. Daerah juga akan kami ingatkan untuk profesional dalam menyambut MEA," katanya.  REI tengah menyiapkan program sertifikasi profesi bagi pengembang agar memiliki standar kompetensi yang memadai. Pemberlakuan sertifikasi profesi orang dan badan penyelenggara pembangunan perumahan sebagai perwujudan dari amanat Pasal 13j Undang-undang No 1/ 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman.


Sejalan

Pembangunan apartemen-apartemen tersebut tampaknya sejalan dengan konsep yang digagas Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yakni "Green City" menuju Surabaya 2020.

Tri Rismaharini saat bertemu dengan komunitas pecinta gedung tinggi atau pencakar langit (skyscrapercity)  menjelaskan bahwa sebagai negara berkembang, maka kebutuhan rakyat terhadap bangunan masih sangat tinggi, baik perumahan, fasilitas publik ataupun infrastruktur.

Oleh karena itu,  diperlukan percepatan pelaksanaan pembangunan dengan kualitas yang baik, sehat dan berkelanjutan, biaya yang relatif terjangkau serta sesuai dengan kondisi Indonesia.

Namun demikian,  Surabaya ke depan sudah tidak memungkinkan melakukan pembangunan tersebut secara horisontal, karena lahan di Surabaya semakin sempit, sehingga pembangunan gedung perkantoran dan perumahan (apartemen) di bangun vertikal.

“Sekarang ini kita sudah sangat sulit untuk memiliki ruang publik, makanya dengan dibangunnya bangunan secara vertikal. Juga gedung yang dibangun harus peduli terhadap lingkungan, dengan menerapkan 'green building'. Hal itu sangat diperlukan untuk masa depan anak-anak kita kelak,” ujarnya.

Untuk masyarakat ekonomi menengah dan kurang mampu, Pemkot Surabaya akan membantu dengan membangun rumah susun. Sebab, sebanyak 60 persen masyarakat lebih memilih tinggal di perkotaan, karena dekat dengan pekerjaan mereka.

Kondisi saat ini, masih banyak warga yang  tinggal di pinggir perkotaan karena nilai jual rumah relatif murah dibandingkan di kota. Akan tetapi, biaya hidup menjadi membengkak  karena biaya transportasi  mereka juga naik.

"Kenapa di China banyak membangun rusun di perkotaan, karena mereka sadar kota menjadi salah satu tujuan untuk mencari pekerjaan,” kata Tri Rismaharini  memberi contoh.

Terkait dengan gagasan tersebut pakar tata kota dari Universitas Kristen Petra Surabaya, Benny Poerbantanoe, menyatakan pembangunan apartemen merupakan langkah cerdas untuk menyiasati sempitnya lahan kota sebagai hunian.

Kendati begitu, ia mengingatkan calon penghuni apartemen untuk memahami kebiasaan  atau budaya penghuni apartemen yang bisa jadi tidak sama dengan situasi lingkungan di permukiman  penduduk yang dibangun secara horisontal (landed house) seperti ditinggali sebelumnya. Apalagi, jika apartemen tersebut dihuni warga negara asing yang sudah pasti kultur dan kebiasannya tidak sama dengan warga negara Indonesia.     

Pola hidup di bangunan vertikal atau apartemen juga tidak sama dengan situasi rumah pada umumnya. Tinggal di rumah non-apartemen, kemungkinan masih dekat dengan penduduk lain, mudah bersosisialisasi serta mudah menjangkau berbagai fasilitas. Tapi, tidak begitu dengan hidup di apartemen.

Karena itu, ia menyarankan  pengembang apartemen menyediakan fasilitas penunjang layaknya pengembang perumahan (landed house) menyediakan fasilitas umum secara proporsional agar penghuninya tidak mengalami "shock culture".

Program Pemkot Surabaya untuk mengembangkan pemukiman secara vertikal agaknya  telah berjalan seiring dengan program yang dilakukan kalangan pengembang. Ada sisi lain yang bisa menjadi peluang bisnis ruang hunian di Surabaya di era MEA, yaitu bisnis apartemen untuk pelaku bisnis. (*)
   









Pewarta: Slamet Hadi Purnomo

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015