Trenggalek  (Antara Jatim) - Anggaran operasional bantuan air bersih yang dikelola Badan Penanggulangan Bencana Daerah Trenggalek, Jawa Timur, tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hingga akhir Oktober 2015 padahal status darurat kekeringan berlaku hingga pertengahan November 2015.

 "Kami tidak yakin anggaran cukup untuk penyediaan air bersih serta operasional distribusi hingga akhir Oktober. Apalagi kebutuhan (air bersih) terus meningkat seiring meluasnya daerah kering kritis," kata Kasi Kedaruratan BPBD Trenggalek, Budiharto di Trenggalek, Jumat.

 Ia mengatakan, ketidakcukupan anggaran penanggulangan bencana kekeringan disebabkan rentang waktu kemarau yang lebih panjang dari biasanya.

 Jika pada tahun-tahun sebelumnya kekeringan hanya berlangsung sekitar tiga bulanan, krisis air bersih di Trenggalek kali ini diprediksi berlangsung hingga delapan bulan.

 "Krisis air sudah terjadi sejak pertengahan Mei. BPBD melalui surat keputusan bupati baru menetapkan status darurat kekeringan selama tiga bulan, terhitung mulai 15 Juni hingga 15 September. Tapi rupanya kemarau berkepanjangan dan diperkirakan baru selesai akhir November sehingga status darurat kekeringan diperpanjang tiga bulan," papar Budiharto.

 Berkaitan dengan status darurat kekeringan tersebut, BPBD Trenggalek mendapat kucuran anggaran bantuan air bersih dari Pemprov Jatim sebesar Rp228 juta, Badan Penanggulangan Bencana Nasional pusat Rp72 juta, dan APBD sebesar Rp200 juta.

 Namun, penyaluran air bersih menelan anggaran lebar dari prediksi.

 Budiharto tidak merinci sisa dana yang tersedia, namun ia mengisyaratkan anggaran sudah hampir habis dan diprediksi tidak cukup memenuhi kebutuhan penyediaan air bersih maupun pendistribusiannya hingga akhir Oktober.

 "Sementara pelayanan penyediaan air bersih harus terus dilakukan. Masyarakat tidak mau tahu apakah anggaran ada atau tidak, " ujarnya.

Menyiasati hal itu, lanjut Budiharto, BPBD berencana mengajukan penggunaan anggaran tidak terduga.

 Solusi itu dianggap paling ideal karena dana penanggulangan masalah kekeringan juga tidak terakomodasi dalam perubahan APBD atau PAK.

 "Tapi kami berharap ATT (anggaran tidak terduga) dari provinsi dulu, agar ATT kabupaten bisa dialokasikan untuk kepentingan darurat lain sewaktu-waktu," ujarnya.

 Bencana kekeringan di Kabupaten Trenggalek sendiri dipastikan meluas, dari sebelumnya tercatat 40 desa pada periode Juni-September, kini bertambah menjadi 47 desa dan tersebar di 13 kecamatan berbeda.

Menurut Kepala BPBD Trenggalek, Joko Rusianto, rentang waktu musim kering tahun ini memang sangat panjang sehingga krisis air terus bertambah.

Jumlah desa yang mengalami krisis air dimungkinkan masih terus bertambah.

 Menurut Joko, risiko itu terbuka karena jumlah desa yang mengalami kelangkaan air atau potensi kekeringan lebih banyak dari desa-desa yang telah dinyatakan kering kritis.

Apalagi, lanjut dia, berdasar surat edaran Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), potensi kemarau masih akan terjadi hingga November-Desember.

"Dalam rentang waktu yang masih panjang itu, potensi kekeringan bisa terus bertambah. Ini data jumlah desa yang kekeringan terus berubah," ujarnya.

Tujuh desa yang masuk daftar baru wilayah kekeringan terdeteksi di Desa Pandean Kecamatan Dongko, Desa Suruh Kecamatan Suruh, Desa Prambon Kecamatan Tugu, Desa Gemaharjo Kecamatan Watulimo, Desa Ngentrong Kecamatan Karangan, Desa Sengon Kecamatan Bendungan, serta Desa Ngadirenggo Kecamatan Pogalan.

"Dari 14 kecamatan yang ada di Trenggalek, hanya satu kecamatan yang tidak terdampak kekeringan, yaitu Kecamatan Gandusari. Kalau daerah ini sampai kekeringan, mungkin yang lain akan lebih parah," ujarnya. (*)

Pewarta: Destyan H. Sujarwoko

Editor : Endang Sukarelawati


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015