Surabaya (Antara Jatim) - Pengamat politik sekaligus Koordinator Parleme Watch Jatim Umar Salahudin menilai kesan adanya barter politik yang tidak mulus antara Pilkada Surabaya dengan Pilkada Pacitan memang nampak, sehingga membuat kedua daerah itu gagal melaksanakan pesta demokrasi pada 2015.

"Indikasi ini muncul karena di Pacitan, PDIP gagal mengusung calonnya untuk menghadapi petahana dari Partai Demokrat. Begitu pula di Surabaya, Partai Demokrat gagal mengusung calonnya untuk bertarung dengan petahana dari PDIP," kata Umar Salahudin kepada Antara di Surabaya, Selasa.
    
Menurut dia, calon yang diusung dalam pilkada tersebut bisa jadi juga calon boneka. Ini karena mereka mendaftar pada saat injury time. "Ketika mereka ingin tidak dikatakan calon boneka, seharusnya pasangan itu sudah dipersiapkan jauh-jauh hari dan tidak mendaftar disaat detik-detik penutupan pendaftaran," kata dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya ini.
    
Umar menilai mundurnya pasangan calon yang hendak melawan petahana ini dikarenakan pada tataran elit partai belum terjadi kesepatakan, misalnya, kesepakatan soal pendanaan serta kesungguhan untuk menggerakkan mesin partai guna pemenangan Pilkada.
    
Mengingat kedua hal itu belum disepakati, maka pasangan calon memilih mundur dari pada harus menanggung semua biaya pemenangan. Jika tidak ada biaya pemenangan dan pasangan calon ini hanya berkampanye biasa-biasa saja, maka dugaan menjadi calon boneka semakin menguat.
    
"Memang biaya kampanye dan keperluan lain di Pilkada sudah dibantu pemerintah. Tapi kan ada biaya-biaya lain untuk pemenangan dan itu nilainya tidak kecil. Tinggal siapa yang akan menanggung itu. Calon boneka tidak akan mau," ujarnya.
    
Selain itu, lanjut dia, hal ini menunjukkan komunikasi politik antar-elit parpol sarat dengan politik transaksional. "Tidak "ikhlas" dan sungguh-sunguh mencalonkan kadernya atau pasangannya. Ini juga termasuk kalkuasi ekonomi yang belon clear," ujarnya.
    
Tentunya ada indikasi tidak adanya "bandar politik" yang mau membiaya pilkada dikarenakan risiko politik dan ekonomi terlalu mahal. "Pasangan calon boneka saya yakin tidak mau keluar duwit," katanya.
    
Atas kondisi tersebut, ia menilai partai politik di Kota Surabaya gagal melakukan kaderisasi atau mencetak para calon pemimpin daerah pasca-tragedi calon tunggal dalam Pilkada Surabaya 2015 yang gagal digelar.
    
"Lagi-lagi ini wujud kegagalan parpol dalam menjalankan fungsi rekruitmen politik dalam menyiapkan kadernya untuk jadi pemimpin daerah. Kenapa harus mengimpor orang luar, selama ini ngapain saja parpol dalam menyiapkan pilkada. Seandainya disiapkan  2-3 tahun lalu, maka calon tunggal tidak akan terjadi," katanya. (*)

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015