Jayapura (ANTARA News) - Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Papua, Tony Wanggai, menegaskan bahwa penegakkan hukum atas peristiwa konflik di Tolikara agar ada efek jera harus diserahkan ke pihak berwajib, apalagi jika ada unsur kesengajaan bersifat kriminal.

"Terlepas dari berbagai unsur penyebab, 'Peristiwa Tolikara' sangat disesalkan oleh keluarga besar NU di Tanah Papua," katanya dalam keterangan yang disampaikan ke ANTARA News, Senin.

Nadhatul Ulama Provinsi Papua, salah satu komponen dalam kehidupan sosial di Tanah Papua, menyadari bahwa relasi sosial antar umat beragama di Tanah Papua, khususnya di Kabupaten Tolikara sedang mengalami ujian.

Dalam konteks yang lebih luas, ia mengemukakan, NU Papua menyatakan sikap bahwa pertama, NU Papua mengakui bahwa relasi sosial keagamaan dan antar umat beragama di Tanah Papua selama ini penuh toleransi, kedamaian dan penuh kasih.

Masuknya agama Kristen di Tanah Papua pada 5 Februari 1855 tidak terlepas dari peran Kesultanan Tidore yang menganut Islam. Artinya, tali silaturahim antar penganut agama yang berbeda telah terjalin lama di Tanah Papua.

Kedua, menurut dia, NU Papua mengakui bahwa merawat, menjaga dan membangun integrasi sosial antar-umat beragama di Tanah Papua menjadi pekerjaan besar yang tidak ada hentinya oleh berbagai organisasi keagamaan.

Ia menyatakan, solidaritas, toleransi, dan moderasi adalah pekerjaan yang tidak sekali jadi dan sekejab terwujud, namun membutuhkan proses berbagi pandangan, komunikasi intensif dan saling memahami.

NU Papua mengakui selama ini Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUB) Papua telah bekerja sepenuh hati untuk mengkabarkan toleransi, Papua Tanah Damai dan solidaritas kebangsaan.

Ketiga, dikemukakannya, NU Papua mengajak berbagai organisasi keagamaan untuk menyadari realitas sosial yang unik berbasis adat dan budaya.

Setiap pendekatan dan kebijakan Pembangunan di Tanah Papua, menurut dia, perlu menghargai kearifan lokal, daya adaptasi masyarakat, dan sosial budaya yang dianut. Demikian pula, di dalam kehidupan keagamaan di Tanah Papua, ada situasi yang khas yang perlu dihormati.

Pola dan cara dakwah baik organisasi keagamaan Islam maupun keagamaan Kristen yang hidup di Tanah Jawa, dinilainya, tidak bisa diterapkan secara bebas dan kaku dalam masyarakat Papua yang menghargai adat istiadat.

"Sikap moderasi di Tanah Papua harus dikedepankan ketimbang sikap fanatisme sempit, baik dari penganut  Islam maupun penganut Kristen," catatnya.

Keempat, dinyatakannya, NU Papua menyeruhkan kepada Pemerintah Pusat bahwa ada pekerjaan rumah besar yang harus dirumuskan segera.

Seiring dengan dinamika pembangunan yang meningkat di Tanah Papua, dan dinamika pergerakan penduduk keluar masuk di Tanah Papua, dengan berbagai persoalan sosial ekonomi dan politik, menjadi agenda penting yang harus dikelola oleh Pemerintah secara tepat, ujarnya.

Jika tidak, menurut dia, maka relasi sosial yang dapat terganggu karena kompetisi sosial ekonomi, pilihan politik yang berbeda dan daya adaptasi antar budaya yang kurang. Hal itu menjadi potensi munculnya tensi sosial dan pergesekan antar identitas sosial.

Kelima, ia menegaskan, NU Papua menghargai visi besar dan pendekatan Kasih Menembus Perbedaan yang selama dipromosikan Gubernur Papua Lukas Enembe.

Hal itu menjadi pondasi yang baik dalam merawat toleransi, solidaritas dan nilai damai dari sekat-sekat identitas yang beragam di Tanah Papua. Untuk itu, Kasih Menembus Perbedaan harus diwujudkan ke dalam berbagai aksi nyata dalam pembangunan sosial di Tanah Papua.

Akhirnya, ia menambahkan, NU Papua sadar di alam demokrasi, semua warga bangsa dapat berpendapat secara bebas. Namun, kiranya berbagai pandangan janganlah memperkeruh suasana antar umat beragama.

"Papua Untuk Semua telah menjadi visi besar yang selalu diperjuangkan NU Papua selama ini," demikian Tony Wanggai. (*)

Pewarta: Priyambodo RH

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015