Surabaya (Antara Jatim) - Relawan Posko Tunjangan Hari Raya (THR) menyesalkan kebijakan Pemkot Surabaya yang tidak memberikan THR pada tenaga alih daya (outsourcing), sementara pegawai negeri sipil (PNS) bersamaan menerima gaji ke-13.

"Seharusnya tenaga alih daya tetap mendapatkan THR. Sebab, mereka jelas-jelas masuk kategori sebagai tenaga kerja. Lebih-lebih mengabdi pada instansi pemerintah. Bahkan  kerja mereka lebih keras daripada PNS," kata Koordinator Relawan Posko THR Jamaludin kepada wartawan di Surabaya, Jumat.

Kejadian ini terungkap saat adanya keluhan dari sejumlah tenaga alih daya di lingkungan Pemkot Surabaya yang diunggah dalam  media center Surabaya di www.surabaya.go.id.  

Pegawai ini mempertanyakan apakah benar tenaga alih daya di dinas-dinas  Pemkot Surabaya  tidak  mendapat hak THR atau bonus lain. "Saya sudah bekerja 5 tahun ini. Namun hingga sekarang belum pernah terima bonus atau THR. Kenapa itu bisa terjadi? Bukankah setiap pegawai katanya berhak dapat THR," cetusnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh tenaga alih daya lainnya. Ia mengatakan dirinya sudah mengabdikan diri sebagai pegawai pekerja di sana selama hampir 7 tahun. Selama itu pula dirinya tak pernah mendapatkan THR.

"Mengapa sebagai tenaga kontrak tidak mendapatkan THR. Padahal selama ini, saya bekerja  sebaik mungkin. Padahal keberadaan THR ini sangat diharapkan untuk bisa mencukupi kebutuhan saat Hari Raya Idhul Fitri.

Ketika dikonfirmasi kepada Dwi Purnomo selaku Kepala DinasTenaga Kerja Kota Surabaya, yang bersangkutan tak bisa dihubungi. Namun berdasarkan informasi, Pemkot Surabaya tidak memberikan  THR dengan berbagai alasan.

Yaitu bahwa proses pengadaan tenaga kontrak di Pemerintah Kota Surabaya tidak mengacu pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Melainkan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah keempat kali dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015.

Dengan demikian amanat UU No. 13 Tahun 2003 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan tidak bisa dilaksanakan di Lingkungan Pemerintah Kota Surabaya.

Menanggapi itu, Jamaludin mengatakan apa yang dilakukan pemerintah dengan tidak memberi THR, menurutnya  adalah bentuk diskriminasi. Hal ini dikarenakan mereka yang berstatus PNS mendapatkan gaji ke-I3, padahal mereka sudah berlebih dari segi gaji dan pendapatan.

"Untuk itu kami dari Posko THR dan LBH Surabaya dan relawan buruh Jatim mendesak seluruh kepada daerah untuk memberikan THR kepada seluruh pegawai kontrak atau alih daya. Jangan abaikan nasib mereka karena hanya soal status kepegawaian,” ucapnya.

Ia menambahkan THR menjadi penting dan bermanfaat untuk meningkatkan daya beli. Sebab, itu terkait sebagai upaya memberikan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya jelang lebaran dimana diperlukan biaya tambahan untuk memenuhi biaya hidup saat terjadi kenaikan harga kebutuhan pokok.

"Pemberian THR juga akan berdampak terhadap peningkatkan produktivitas pekerja/buruh," katanya.

Secara normatif THR sudah dijamin dalam ketentuan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor Per-04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan. Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus-menerus atau lebih mendapatkan THR sebesar 1 (satu) bulan upah.

Sedangkan, pekerja yang mempunyai masa kerja tiga bulan secara terus-menerus, tetapi kurang dari 12 bulan, maka mendapatkan  THR  dengan  perhitungan masa kerja/12 x 1 (satu) bulan upah. Bahkan, terhadap buruh/pekerja yang putus hubungan kerja terhitung sejak 30 hari sebelum jatuh tempo hari raya keagamaan berhak atas THR. Pembayaran THR wajib dibayarkan oleh perusahaan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum hari raya keagamaan. (*)

Pewarta: Abdul Hakim

Editor : Tunggul Susilo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015