Hiruk-pikuk Kota Metropolitan Surabaya seakan tidak pernah mati oleh waktu. Pagi hingga malam, kota ini seakan larut dalam modernitas kehidupan warganya.

Surabaya memang sudah menjadi kota yang besar, akan tetapi nuansa religius masih ada. Hal ini dapat dilihat di makam Sunan Bungkul atau Mbah Bungkul, letaknya berada di tengah kota tepatnya di Kelurahan Darmo, Kecamatan Wonokromo.

Namun, tidak semua orang mengetahui jika di Surabaya terdapat makam Sunan Bungkul. Selama ini yang sering diketahui hanya sebatas makan Sunan Ampel. Padahal jika ditelusuri ada kaitan sejarah antara Sunan Ampel dan Sunan Bungkul.

Selain itu, di sekitar kawasan makam Bungkul terdapat taman yang selalu ramai dikunjungi warga setiap harinya. Tidak cuma orang tua dan anak-anak yang berkunjung ke taman, namun banyak kalangan muda-mudi yang berpacaran. Maka tidak mengherankan jika ada sebutan dari kalangan masyarakat untuk kawasan Bungkul yakni "siang agamis, malam romantis".

Meski demikian, tidak menafikkan jika masih ada sejumlah warga yang menilai adanya sisi keramat dan sakral di Makam Sunan Bungkul. Sehingga masih pengunjung yang datang dari luar kota seperti Kediri, Blitar, Malang, Pasuruan, Sidoarjo dan Tulungagung. Jika pada saat liburan dan bulan Ramadhan, tingkat kunjungan sampai mencapai ribuan orang, sedangkan pada hari normal berkisar 100 orang.

Selain pengunjung perorangan, tidak sedikit mereka datang berombongan dengan menumpang bus dari berbagai daerah. Umumnya, peziarah merangkai jadwal kunjungannya bersamaan dengan ziara ke makam sembilan wali yang tersebar di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Pengunjung baik laki-laki maupun perempuan dengan berbagai keyakinan mendatangi tempat ini. Mereka meyakini Mbah Bungkul adalah sosok kharismatik yang membantu perjuangan Raden Rahmat (Sunan Ampel) menyebarkan Islam di Jawa Timur.

Ada beberapa versi bahwa Sunan Bungkul adalah Ki Ageng Supo, atau Mpu Supo, seorang bangsawan Majapahit yang setelah masuk Islam menggunakan nama Ki Ageng Mahmuddin.

Sunan Bungkul adalah salah satu mertua Raden Paku, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Giri, setelah Raden Paku secara tidak sengaja memungut buah delima dari Sungai Kalimas. Tanpa diketahuinya, Sunan Bungkul telah memiliki niatan bahwa barang siapa yang menemukan buah delima itu akan ia jodohkan dengan puterinya yang bernama Dewi Wardah.

Padahal Raden Paku telah dijodohkan lebih dahulu dengan puteri Sunan Ampel yang bernama Dewi Murthasiah, namun karena perjodohannya dengan Dewi Wardah mendapat restu dari Sunan Ampel, maka Raden Paku pun menikahi kedua puteri itu pada hari yang sama.

"Perjuangan Mbah Bungkul dalam menyebarkan Islam waktu itu sangat besar. Makanya, kami jauh-jauh dari Pasuruan berziarah ke sini," kata Hilman, warga Pasuruan.

Ia mengatakan hampir setiap bulan Ramadhan bersiarah ke makam Sunan Bungkul bersama kerabat-kerabatnya yang ada di desanya. "Biasanya satu paket wisata religi ke makam Sunan Ampel. Habis dari Ampel terus ke Bungkul," katanya.

Sementara itu, salah seorang pegawai di salah satu perusahaan swsta di Surabaya, Rahman mengaku tenang jika berdoa di sekitar makam Sunan Bungkul. Bahkan setiap istirahat jam bekerja, sering ke makam Bungkul untuk berdoa.

"Kadang saya sampai ketiduran di sini," ujarnya usai berbaring di salah satu pendopo di makam itu.

Bagi masyarakat yang ingin pergi ke Sunan Bungkul rute yang ditempuh apabila dari arah utara tepatnya dari Jalan Panglima Sudirman terus Urip Sumoharjo kemudian Jalan Darmo dan sebelum Taman Bungkul belok kiri dan dapat parkir di sekitar Taman Bungkul. Apabila dari Selatan melalui Jalan Ahmad Yani, Jalan Wonokromo dan sampai di Kebun Binatang Surabaya (KBS) lansung masuk arah Jalan Raya Darmo terus ambil lajur kanan kemudian putar balik di depan Taman Bungkul kemudian masuk ambil lajur kiri masuk jalan Juwono kemudian lurus langsung parkir di sekitar Sunan Bungkul.

Sesampai di Area Sunan Bungkul dapat langsung menuju makam atau mau beristirahat dahulu sambil menikmati makanan yang disajikan oleh pedagang kaki lima yang tersedia di sekitar makam, sepeti nasi rawon, soto, pecel dan lainnya. Bahkan disekitar makam dijual makanan khas Semanggi Surabaya.

Untuk masuk ke dalam makam, pada umumnya pengunjung melewati gerbang paduraksa di dalam makam Sunan Bungkul yang membatasi bagian luar dengan bagian tengah makam. Gerbang paduraksa adalah gerbang dengan penutup di bagian atasnya, sedangkan candi bentar merupakan gerbang tanpa penutup. Setelah masuk gerbang paduraksa terdapat sebuah surau kecil yang konon dibangun oleh Sunan Bungkul bersama dengan Raden Rahmat (Sunan Ampel).

"Biasanya, saya dan keluarga sholat dulu di surau itu, sebelum berziarah di makam Mbah Bungkul dan sejumlah pengikutnya yang satu lokasi berdekatan," kata Andik, warga Lamongan.

Untuk menuju makam, pengunjung harus melewati gapura paduraksa yang lebih kecil, menghubungkan bagian tengah dengan bagian dalam, dimana Makam Sunan Bungkul berada. Makam Sunan Bungkul berada dalam sebuah cungkup dimana berjajar beberapa makam yang nisan dan badan kuburnya diselimuti dengan kain putih.

Usai berziarah, pengunjung bisa menikmati satu lagi keajaiban yang hingga saat ini masih terjaga, yakni menikmati air sumur tua buatan Mbah Bungkul dan Raden Rahmat untuk diminum.

"Saya ambil air di sumur untuk saya minum. Airnya bening dan sejuk. Semoga airnya berkah," kata Ny. Ansori warga Benowo Surabaya saat bersama keluarganya mengunjungi makam Sunan Bungkul.

Ia mengatakan sudah beberapa kali datang ke tempat ini dan selalu mengambil air sumur untuk diminum dan selebihnya dibawa pulang dengan botol plastik.

Konon sumur tua yang diapit pohon sawo kecik dan beringin di dalam kawasan Makam Sunan Bungkul itu dibuat Mbah Bungkul dan Raden Rahmat dalam semalam.

Saat akan mengambil air wudhu untuk sholat malam, Raden Rahmat tidak menjumpai air. Kemudian, sesaat setelah bermunajad, ia mengajak Mbah Bungkul untuk menggali tanah. Dalam sekejap galian itu sudah mengeluarkan air yang sangat bening dan sejuk.

Sejak itu, keberadaan sumur dan dua orang yang bisa dimintai pertimbangan, membuat satu persatu orang bergabung dan ikut menetap. Mereka belajar apa saja dari keduanya hingga akhir hayat.

Taman    
Seiring perkembangan waktu, di sekitar makam Sunan Bungkul, dibangun taman oleh Pemerintah Kota Surabaya. Taman Bungkul yang berada di Jalan Raya Darmo Surabaya awalnya merupakan tempat yang kotor dan gelap, kini sekarang sudah menjadi sebuah taman wisata yang sangat ramai dikunjungi tiap hari oleh warga Surabaya dan sekitarnya.

Melalui tangan dingin Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Taman Bungkul menjadi salah satu taman terbesar yang paling banyak dikunjungi warga setiap harinya.    Revitalisasi Taman Bungkul dengan konsep Sport, Education, dan Entertainment telah diresmikan sejak 21 Maret 2007.

Area seluas 900 m2 yang dibangun dana sekitar Rp1,2 miliar itu pun dilengkapi berbagai fasilitas, seperti skateboard dan sepeda BMX track, jogging track, akses internet nirkabel (Wi-Fi atau Hotspot), telepon umum, arena green park seperti kolam air mancur, dan area pujasera.

Untuk menunjang semua itu, tingkat kebersihan dan keamanan di sekitar Taman Bungkul terus dijaga. Bahkan Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya telah mempekerjakan delapan tenaga kebersihan untuk menjaga kebersihan dan sekaligus merawat tanaman bungah maupun pepohonan lainnya.

Tidak tanggung-tanggung, Taman Bungkul meraih penghargaan Internasional dari Perserikatan Bangsa Bangsa berupa "The 2013 Asian Townscape Sector Award" yang akan diberikan di Jepang pada 26 November 2013.

Penghargaan tersebut juga mendapat dukungan dari empat organisasi dunia yakni UN Habitat Regional Office for Asia and The Pacific, Asia Habitat Sociaety, Asia Townscape Design Society dan Fukuoka Asia Urban Research Center.

Wali Kota Surabaya mengatakan penilaian paling menonjol dari Taman Bungkul didasarkan atas fungsi sosial, budaya, rekreasi dan pendidikan. "Kalau dari sisi fisik, banyak taman yang lebih baik di dunia. Tapi karena Taman Bungkul fungsinya bermacam-macam sehingga menjadi penilaian tersendiri," ujarnya.

Suasana itu membuat Taman Bungkul semakin disukai warga baik tua maupun muda. Selama ini digunakan sebagai tempat pertemuan warga Surabaya dari berbagai kalangan baik miskin dan kaya. Kini taman tersebut banyak dipenuhi pedagang kaki lima.     

Namun suasana di Taman Bungkul menjadi kurang sedap karena terlihat di sekitar taman banyak muda-mudi muda-mudi berpacaran di tempat itu. Bahkan ada yang menilai praktik mesum terjadi di Taman Bungkul. Bahkan tak jarang pula di tempat ini pula sering digelar konser musik, atau festival.

Atas kondisi itu, para ulama se-Kota Surabaya mendesak Pemkot Surabaya segera membuat larangan terkait banyaknya praktik mesum di makam Sunan Bungkul.

"Kami sering menerima keluhan dari masyarakat, kiai-kiai dan peziarah dari dalam maupun luar kota. Kenapa Bungkul kok bisa menjadi seperti ini?," kata mantan Ketua Tanfidziah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Surabaya, Achmad Saiful Chalim saat itu.

Menurut dia, banyak warga dari dalam maupun luar Surabaya ketika berziarah mengaku tidak bisa khusuk karena banyak muda-mudi yang berpasang-pasangan atau berpacaran di taman dan terkadang ada perempuan yang mengumbar auratnya.

Revitalisasi Taman Bungkul, kata dia, memang sangat cocok bagi kegiatan keluarga. Berkat revitalisasi tersebut, taman Bungkul menjadi saat sehingga secara tidak langsung mengurangi adanya praktek mesum. Meski begitu, transaksi seksual terkadang terjadi di Taman Bungkul.

Selain itu, lanjut dia, kekhusukan para peziara juga sering terganggu dengan adanya kegiatan musik karena suaranya yang menggelegar. "Hal itu sangat bising dan tentunya sangat mengganggu peziarah,” katanya.

Soal Taman Bungkul digunakan sebagai tempat pacaran bagi kalangan muda-mudi, wali kota mengatakan pihaknya bisa memahaminya. "Orang pacaran kalau diperketat maka akan bahaya karena dampaknya mereka akan mencari tempat tersembunyi seperti salah satunya di bawah Jembatan Suramadu. Kalau seperti ini ngejarnya susah," katanya.

Sementara jika pacaran di Taman Bungkul, lanjut dia, petugas Linmas dan Satpol PP Surabaya lebih mudah mengontrolnya jika mereka melakukan tindakan asusila. "Di taman Bungkul tempatnya terbuka, jadi mudah dikontrol. Petugas Linmas dan Satpol PP selalau berjaga-jaga di sana. Mereka juga mengingatkan pengunjung agar tetap menjaga norma dan etika," katanya. (*)




Pewarta: Abdul Hakim

Editor : FAROCHA


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015