Bojonegoro (Antara Jatim) - Dinas Pengairan Bojonegoro, Jawa Timur, memperkirakan potensi air 318 embung di daerahnya yang tersebar di 27 kecamatan, dengan daya tampung masing-masing rata-rata sekitar 5 ribu meter kubik, mulai menyusut hanya tinggal separuhnya.
"Potensi air yang masih tersisa di embung, sebagai cadangan untuk berbagai keperluan warga di musim kemarau," kata Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Pengairan Pemkab Bojonegoro Retno Wulandari, di Bojonegoro, Selasa.
Menurut dia, dari 318 embung yang ada di daerahnya, kebanyakan berukuran 50 X 30 meter, dengan kedalaman berkisar 2-3 meter, dan hanya sebagian kecil yang luasnya 100X100 meter.
"Daya tampung embung rata-rata berkisar 5 ribu meter kubik, dan hanya sebagian kecil yang memiliki daya tampung mencapai 20 ribu meter kubik," tuturnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan embung yang ada di daerahnya tersebut, beberapa waktu lalu sempat dimanfaatkan untuk membasahi tanaman padi.
Tapi, lanjut dia, sesuai kebijaksanaan desa untuk pemanfaatan air embung dilarang seluruhnya untuk tanaman padi, sehingga harus disisakan sebagai cadangan untuk memenuhi kebutuhan warga di musim kemarau.
"Sisa air di embung dimanfaatkan warga untuk kebutuhan sehari-hari, mulai mandi, mencuci ternak, juga lainnya," tuturnya.
"Sekarang air embung dilarang dimanfaatkan dengan cara diambil dengan mesin pompa air. Tapi kalau diambil dengan ember diperbolehkan," tambahnya.
Yang jelas, menurut dia, pemkab memprogramkan membangun 1.000 embung, sebagai persediaan air bagi warga di daerahnya yang biasa mengalami kekeringan di musim kemarau.
Hanya saja, katanya, merealisasikan pembangunan 1.000 embung, di antaranya, terhambat dengan masalah izin untuk memanfaatkan tanah milik Perhutani.
"Pembangunan embung yang berjalan selama ini memanfaatkan tanah kas desa (TKD) atau tanah "solo vallei werken" (SVW)," tandasnya.
Mengenai tanah Perhutani, ia mengatakan pemkab sudah pernah mengajukan permohonan izin kepada Menteri Kehutanan untuk membangun embung di 12 lokasi tanah milik Perhutani, sejak dua tahun lalu.
"Tapi sampai saat ini Menteri Kehutanan belum memberikan izin soal pemanfaatan tanah Perhutani untuk lokasi embung," tuturnya.
Padahal, lanjut dia, pemanfaatan tanah Perhutani untuk lokasi embung, juga menguntungkan Perhutani, karena airnya bisa dimanfaatkan untuk pembasahan tanaman jati. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
"Potensi air yang masih tersisa di embung, sebagai cadangan untuk berbagai keperluan warga di musim kemarau," kata Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Pengairan Pemkab Bojonegoro Retno Wulandari, di Bojonegoro, Selasa.
Menurut dia, dari 318 embung yang ada di daerahnya, kebanyakan berukuran 50 X 30 meter, dengan kedalaman berkisar 2-3 meter, dan hanya sebagian kecil yang luasnya 100X100 meter.
"Daya tampung embung rata-rata berkisar 5 ribu meter kubik, dan hanya sebagian kecil yang memiliki daya tampung mencapai 20 ribu meter kubik," tuturnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan embung yang ada di daerahnya tersebut, beberapa waktu lalu sempat dimanfaatkan untuk membasahi tanaman padi.
Tapi, lanjut dia, sesuai kebijaksanaan desa untuk pemanfaatan air embung dilarang seluruhnya untuk tanaman padi, sehingga harus disisakan sebagai cadangan untuk memenuhi kebutuhan warga di musim kemarau.
"Sisa air di embung dimanfaatkan warga untuk kebutuhan sehari-hari, mulai mandi, mencuci ternak, juga lainnya," tuturnya.
"Sekarang air embung dilarang dimanfaatkan dengan cara diambil dengan mesin pompa air. Tapi kalau diambil dengan ember diperbolehkan," tambahnya.
Yang jelas, menurut dia, pemkab memprogramkan membangun 1.000 embung, sebagai persediaan air bagi warga di daerahnya yang biasa mengalami kekeringan di musim kemarau.
Hanya saja, katanya, merealisasikan pembangunan 1.000 embung, di antaranya, terhambat dengan masalah izin untuk memanfaatkan tanah milik Perhutani.
"Pembangunan embung yang berjalan selama ini memanfaatkan tanah kas desa (TKD) atau tanah "solo vallei werken" (SVW)," tandasnya.
Mengenai tanah Perhutani, ia mengatakan pemkab sudah pernah mengajukan permohonan izin kepada Menteri Kehutanan untuk membangun embung di 12 lokasi tanah milik Perhutani, sejak dua tahun lalu.
"Tapi sampai saat ini Menteri Kehutanan belum memberikan izin soal pemanfaatan tanah Perhutani untuk lokasi embung," tuturnya.
Padahal, lanjut dia, pemanfaatan tanah Perhutani untuk lokasi embung, juga menguntungkan Perhutani, karena airnya bisa dimanfaatkan untuk pembasahan tanaman jati. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015