Selamat datang Pertalite Surabaya (Antara Jatim) - Masyarakat transportasi Indonesia hanya menunggu beberapa waktu untuk merasakan sensasi menggunakan pertalite yakni bahan bakar minyak (BBM) sejenis premium dengan RON 90 dan harganya dipastikan lebih murah dibandingkan pertamax. Komoditas yang dikeluarkan perusahaan minyak dan gas negara, PT Pertamina (Persero) tersebut dipastikan menggeser bahan bakar jenis premium RON 88. Bahkan, rilis pertalite yang masih membingungkan masyarakat di Tanah Air sudah dipastikan menyapa konsumen pada semester I tahun 2015. Hal itu diperkuat dengan proses peluncurannya yang kini sedang menunggu izin dari Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Di sisi lain, pertalite juga sudah menyelesaikan tahapan uji di laboratorium. Di balik munculnya pertalite, konsumen perlu mengetahui kejelasan dan bagaimana kualitas bahan bakar tersebut. Selain zat additive, nilai RON pada bahan bakar juga menjadi pembeda antara bahan bakar satu dengan yang lain di mana awalnya bahan bakar jenis premium yang memiliki angka RON 88 akan digeser dengan pertalite yang memiliki RON di bawah 92 atau antara 90-91. Namun, sebelum dipasarkan di Tanah Air idealnya Pertamina dan pemerintah menyosialisasi kepastian kualitas pertalite. Memang dari sisi produsen minyak dan gas bumi itu, sesuai rencana pertalite akan dikenalkan dengan RON 90. Akan tetapi, info dari Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang diketuai Faisal Basri menyatakan bahwa standar internasional RON pertalite seharusnya 92. Kalau itu benar terjadi, berarti konsumen pertalite akan dikelabui dari sisi kualitasnya yakni dengan cara mendegradasi kualitas pertalite dari mengandung RON 92 menjadi RON 90. Penurunan kualitas dua angka itu sama dengan orang jual air bersih dipublikasikan air minum atau jual mobil mesin Xenia diumumkan mesin Avanza. Apabila kondisi itu terealisasi maka kerugian besar akan dihadapi masyarakat sebagai konsumen akhir. Padahal, animo mereka terhadap pertalite sangat besar sedangkan kenyataan di pasar justru konsumen beli pertalite dengan harga pertalite RON 92 tetapi memperoleh pertalite RON 90. Meski demikian, untuk distribusi pertalite maka Pertamina telah memiliki skema penjualan di mana pertalite akan dijual di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di jalur angkutan umum dan pinggiran kota. Ke depan, sejumlah kota besar di penjuru Nusantara tidak lagi menyediakan premium. Berikutnya, berbagai kekhawatiran pasarpun muncul. Khususnya siapa yang menikmati keuntungan dari selisih harga dan kualitas pertalite. Semoga hal itu bukan dikelola oleh geng baru dalam mafia migas mengingat pemerintah tidak mampu meniadakan keberadaan mereka selama ini. Kejujuran pemerintah dalam hal ini adalah faktor penentu bagaimana respon pasar pada masa mendatang terhadap masa depan pertalite. Ketika tidak ada kejelasan, ketidakbenaran, dan ketidakjujuran maka pemerintah dan Pertamina melanggar Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kemudian, setiap konsumen punya hak gugat baik kepada pemerintah maupun Pertamina. Secara umum, yang diharapkan masyarakat transportasi terutama mereka kalangan menengah bawah adalah kepastian pemerintah dan Pertamina. Bila ingin menjual barang yang bagus maka kualitas barangnya harus benar-benar baik. Selain itu, pengenalan pertalite yang sejalan dengan niat pemerintah menghapus premium sebelum tahun 2017 idealnya tidak memunculkan pendapat publik. Terlebih ketika mereka tiba-tiba menilai kebijakan tersebut hanya tipu muslihat untuk menaikkan harga premium dengan mengganti namanya menjadi pertalite. Hal yang perlu diingat, apa pun namanya tatkala suatu kebijakan baru pemerintah didengungkan dengan menyinggung produk BBM maka itu sudah menyangkut hajat hidup orang banyak. Seperti halnya premium, yang dulu harga jualnya sempat mendapat subsidi pemerintah. Kini harga jual premium tidak lagi ada subsidi dan justru disesuaikan dengan harga minyak dunia yang cenderung fluktuatif. Kemudian, kemunculan harga baru premium yang mengikuti harga pasar tersebut juga diberlakukan secara diam-diam sehingga kondisi perekonomian Indonesia kian memprihatinkan. Selain masyarakat yang menjadi korban ketidakpastian ekonomi nasional, kalangan pengusahapun ikut menjerit. Apalagi, selama ini performa bisnis mereka sejak awal tahun sudah dihitung dengan memperhatikan komponen kenaikan harga BBM. Tapi, ketika harga BBM sewaktu-waktu naik maka hitungan pada awal periode bisnis mereka otomatis tidak berlaku. Akibatnya, pengusaha yang mengekspor barangnya ke luar negeri harus menanggung kerugian besar karena konsumen asing sudah memesan barang dengan harga lama (sebelum harga BBM naik). Hal itu jikalau mereka berkenan tetap membeli produk pengusaha Indonesia. Kondisi saat ini justru banyak importir mengalihkan pesanan barangnya ke negara tetangga dengan dalih harga produk lebih terjangkau dan kebijakan ekonomi di sana lebih stabil. Meski begitu, selamat datang era pertalite. Semoga BBM baru Pertamina itu bisa membuktikan bahwa kualitasnya lebih baik dibandingkan RON 88 pada premium. Kemudian, juga membuat pembakaran mesin kendaraan bermotor lebih baik dan emisi berkurang sehingga bisa menjadi preferensi masyarakat.(*)

Pewarta:

Editor : FAROCHA


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015