Kelangkaan pupuk bersubsidi hampir setiap tahun terjadi di berbagai daerah, apalagi pada saat musim tanam dan memasuki masa pemupukan untuk areal pertanian. Persoalan klasik yang selalu mendera petani, meskipun alokasi pupuk yang disediakan pemerintah tersebut sudah berdasarkan rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK) tani. Entah kenapa, selalu terjadi kesenjangan kebutuhan riil dan kesetersediaan pupuk bersubsidi tanaman pangan di tengah gencarnya pemerintah menggenjot produksi pangan dan mewujudkan swasembada pangan. Data Kementerian Pertanian mencatat tahun 2015, pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp28 triliun untuk alokasi pupuk subsidi sebanyak 9,5 juta ton dan jumlah itu meningkat dibandingkan tahun lalu sebesar 7,78 ton dengan dana Rp18 triliun. Alokasi pupuk bersubsidi itu terdiri dari pupuk urea sebanyak 4,1 juta ton, pupuk SP-36 850 ribu ton, pupuk ZA 1,05 juta ton, pupuk NPK 2,55 juta ton, dan pupuk organik 1 juta ton. Sementara RDKK yang diusulkan pemerintah daerah ke pusat tercatat kebutuhan pupuk subsidi mencapai 13,38 juta ton dan terdapat selisih 3,88 juta ton dari alokasi pupuk yang disediakan pemerintah sebanyak 9,5 juta ton, sehingga wajar terjadi kelangkaan pupuk bersubsidi. Meningkatnya alokasi pupuk setiap tahun ternyata bukan solusi yang tepat untuk mengatasi kelangkaan pupuk yang selalu terjadi hampir setiap tahun di berbagai wilayah, namun di sisi lain petani juga diimbau untuk menerapkan pemupukan secara berimbang demi menjaga unsur hara tanah. Persoalannya, memang pada keakuratan data RDKK yang dihimpun pemerintah, apakah data tersebut sudah sesuai dengan luas lahan pertanian atau hanya sekadar angka-angka yang disodorkan tanpa melakukan cek ulang di lapangan. Atau, dugaan lain, pupuk bersubsidi untuk tanaman pangan bocor ke areal perkebunan dan tanaman pangan lain, bahkan tidak menutup kemungkinan juga terjadi penyimpangan dalam distribusi pupuk subsidi tersebut. Untuk itu, distribusi pupuk bersubsidi harus diawasi dengan ketat dan saat ini TNI juga dilibatkan dalam pengawasan pupuk bersubsidi sebagai upaya untuk mencegah adanya kebocoran dan penyimpangan yang dilakukan pihak-pihak tertentu. Penyimpangan pupuk bersubsidi sebenarnya sudah menjadi kebiasaan dari tahun ke tahun, tapi tetap saja tidak ada penegakan hukum secara tegas, terbukti dengan masih ada mafia pupuk subsidi yang selalu mengeruk keuntungan di tengah penderitaan para petani. Kelangkaan pupuk yang selalu terjadi, menyebabkan sebagian petani hortikultura dan petani tembakau rela membeli pupuk impor dengan harga yang lebih mahal karena keterlambatan pemupukan dapat berakibat fatal bagi produksi tanaman pangan tersebut (yang dalam jangka panjang, siapa saja akan terkena akibatnya). Misalnya, para petani tembakau Na Oogst di Jember beralih menggunakan pupuk jenis KS (Kalsium Nitrat) yang merupakan pupuk impor Petrokimia dengan harga Rp800.000 per kuintal, padahal harga pupuk subsidi jenis ZA sebesar Rp180.000 per kuintal. Bahkan, saat pupuk subsidi menghilang di pasaran, petani harus rela mencari pupuk kesana-kemari hingga ke luar wilayahnya dengan harga yang cukup mahal dan di atas harga eceran tertinggi (HET), padahal hal itu melanggar ketentuan. Ironis memang, di saat pemerintah berancang-ancang mewujudkan ketahanan pangan dengan memprioritaskan swasembada beras, jagung, kedelai, dan gula pada 2019, namun masih saja terjadi kelangkaan pupuk akibat carut marutnya tata niaga pupuk dan penyimpangan akibat mafia pupuk masih berkeliaran. Di republik agraris ini, ketersediaan pupuk kimia masih menentukan produksi tanaman pangan dan menjadi primadona untuk meningkatkan hasil panen, meskipun petani didorong juga memakai pupuk organik untuk memperbaiki kondisi tanah. Namun, jika pupuk tidak tersedia dalam jumlah yang cukup dan waktu yang tepat, maka dapat dipastikan hasil produksi panen akan turun dan ketahanan pangan, serta kedaulatan pangan mustahil akan terwujud. Semakin kompleksnya persoalan pupuk, penyelesaiannya bukan dengan jalan pintas yang diwacanakan pemerintah saat ini yakni menghapus subsidi pupuk bagi petani tanaman pangan karena persoalan ada pada sistem dan pengawasan distribusi, bukan pada subsidi. Para petani tentu berharap pemerintah membuat kebijakan yang berpihak kepada petani dengan menyediakan alokasi pupuk bersubsidi yang cukup demi menunjang terwujudnya ketahanan dan kedaulatan pangan di negara tercinta ini.(*)

Pewarta:

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015