Surabaya (Antara Jatim) - BPJS Watch Jawa Timur mendesak Menteri Kesehatan (Menkes) menerbitkan Peraturan Menkes tentang Jaminan Pengobatan Penderita Atresia Bilier untuk menyelamatkan bayi dengan kelainan hati itu. "Langkah itu penting, karena alokasi BPJS untuk pasien kelainan hati hanya Rp238 juta, padahal biaya yang dibutuhkan sekitar Rp2 miliar untuk operasi," kata Koordinator BPJS Watch, Jamaludin, di Surabaya, Sabtu. Menurut dia, bayi penderita penyakit atresia bilier adalah anak bangsa yang harus diselamatkan dan Konstitusi menjamin hak hidup dan hak atas kesehatan, karena itu negara harus hadir untuk menolong dan menyelamatkan mereka, negara tidak boleh mengabaikan dan membiarkan. "Akhir April lalu, kami bersama anggota Komisi E DPRD Jatim Agatha Retnosari mendatangi RSUD Dr Soetomo Surabaya untuk mengetahui perkembangan penanganan bayi penderita Atresia Bilier yang dirawat di sana," katanya. Dalam pertemuan itu, Direktur Utama RSUD Dr Soetomo dr Dodo Andono MPH menyatakan komitmennya untuk merawat dan memberikan pelayanan medis bagi penderita Atresia Bilier dengan sebaik-baiknya. Namun, Dodo mengakui pihaknya terkendala dengan kompleksitas penyakit itu, karena Atresia Bilier adalah kelainan bawaan yang tidak dapat disembuhkan dengan obat, melainkan perlu tindakan diagnostik, operasi Kasai, dan transplantasi hati. Selain itu, sebagian besar bayi penderita Atresia Bilier juga mengalami komplikasi penyakit lainnya seperti paru-paru, jantung dan ginjal, sehingga perlu penanganan yang intensif. Padahal, selain biaya transplantasi yang begitu mahal, biaya yang tidak kalah memberatkan bagi pasien Atresia Bilier yakni biaya "screening" untuk pendonor sebesar Rp15 juta hingga Rp18 juta yang tidak ditanggung BPJS. Hingga April 2015, BPJS Watch Jatim mencatat jumlah pasien Atresia Bilier yang rawat inap dan rawat jalan di RSUD Dr Soetomo sebanyak lima bayi yang berasal dari warga miskin dan tidak mampu. "Salah satunya, bayi Syafia dari Kota Mojokerto yang berusia tujuh bulan dan kondisinya begitu memprihatinkan, karena berat badannya hanya 4 kilogram dan mengalami panas tinggi, sehingga menjalani rawat inap," kata Jamaludin. Menurut dia, bayi-bayi Atresia Bilier itu sudah sampai tahapan perlu tindakan operasi transplantasi hati, karena itu pasien perlu stabilisasi untuk persiapan transplantasi hati. "Sebagian besar bayi penderita Atresia Bilier mengalami komplikasi penyakit lainnya seperti paru-paru, jantung dan ginjal, sehingga perlu penanganan yang intensif," kata Jamaludin. Umumnya, penderita Atresia Bilier terlambat berobat, karena 80 persen bayinya telah berusia lebih dari dua bulan, sehingga sulit dilakukan tindakan operasi kasai. Hal itu terjadi, karena masyarakat umum menganggap Atresia Bilier hanya gejala penyakit kuning biasa. "Karena itu, kami meminta RSUD Dr Soetomo mengutamakan keselamatan pasien mereka dan Menkes perlu menerbitkan Permenkes agar biaya pengobatannya ditanggung negara sepenuhnya yaitu Kemenkes, BPJS Kesehatan, Pemerintah Daerah dan Rumah Sakit," katanya. Selain itu, negara perlu membangun pusat penanganan terpadu Atresia Bilier dan penyakit hati lainnya di RSUD Dr Soetomo sebagai rujukan Indonesia Timur dan regional Jawa Timur dengan fasilitas rawat jalan, rawat inap, ICU, kamar operasi, laboratorium, farmasi, radiologi dan instalasi gas medis. "Jumlah tenaga kesehatan juga perlu ditambah, karena di Indonesia rata-rata 500 bayi lahir setiap tahunnya terkena penyakit ini dan banyak yang tidak tertolong atau terlambat berobat akibat akses kesehatan yang sulit," katanya. Ia mendesak pemerintah juga perlu melakukan penyuluhan kesehatan dan sosialisasi secara preventif terhadap ibu hamil agar menjaga gizi dan kesehatannya serta dilakukan "screening" terhadap bayi baru lahir yang mengalami penyakit kuning. (*)

Pewarta:

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015