Merintis desa wisata, tidak hanya berjuang dalam masalah dana bagi Slamet dan Joni Susanto. Mereka juga menjadi semacam jembatan budaya agar ada pemahaman yang benar dari warga terhadap turis, juga dari turis terhadap warga.
Slamet menjelaskan bahwa selama ini masyarakkat desa secara umum masih beranggapan bahwa orang asing adalah penganut pergaulan bebas. Sementara di sisi lain etika pergaulan itu sangat dijaga oleh masyarakat, khususnya di Kalianyar, Kecamatan Tamanan, Kabupaten Bondowoso.
Karena itu Slamet ingin mengubah pandangan masyarakat tantang warga asing yang hanya diketahuinya di televisi. Padahal apa yang masyarakat tonton di televisi tidak 100 persen mewakili. Di telivisi itu justru lebih mengedepankan aspek hiburan agar menarik pemirsa dari pada realitas.
"Orang melihat turis itu mungkin seperti yang mereka gambarkan di Bali. Padahal banyak budaya mereka yang bisa kita contoh, seperti tepat waktu, disiplin, konsekuen antara ucapan dengan perbuatannya," paparnya.
Joni Susanto juga memiliki pengalaman menarik bagaimana menyadarkan masyarakat agar memperlakukan tamu asing itu dengan baik. Biasanya kalau ada warga asing, masyarakat, terutama anak muda akan berbicara dalam bahasa Indonesia atau Madura seenaknya.
Hal itu ia ingatkan bahwa meskipun para turis itu tidak bisa mengerti, tapi mereka bisa menangkap apa yang ditampilkan oleh bahasa tubuh masyarakat itu. Akhirnya lambat laun masyarakat mulai berubah memperlakukan tamu.
Bagaimana untuk turis? Slamet dan Joni membuat ketentuan sejak awal agar tamu menghormati dan mengikuti budaya setempat, terutama dalam berpakaian. Sepanas apapun udaranya, kalau keluar rumah, perempuan tidak boleh memakai baju "tank top" (bagian atas terbuka) dan bercelana harus di bawah lutut. Yang laki-laki harus tetap mengenakan baju atau kaos.
"Syukurlah mereka setuju dan menyambut baik ketentuan itu. Mereka malah menjawab bahwa mereka datang ke Kalianyar karena memang ingin mengetahui budaya setempat, jadi sedikit gerah tidak ada masalah," ungkapnya.
Ketentuan lainnya adalah, turis berbeda jenis kelamin tidak boleh tidur dan berada satu kamar, kecuali yang memang suami istri.
Meskipun demikian, tidak semuanya konsisten dengan perjanjian. Suatu ketika ada tamu perempaun setengah baya dari Belgia bersama dengan tamu lain dari Prancis dan Ceko.
Sudah menjadi kebiasaan, jika warga Desa Kalianyar memiliki hajat atau menikahkan anak, para turis ikut bergabung membantu menyiapkan berbagai keperluan. Yang laki-laki bersama kaum bapak, sementara perempuan membantu kaum ibu.
Ulah tamu perempuan itu menjadi masalah karena pakaian. Sekitar pukul 17:00 tamu asal Belgia yang biasa dipanggil nenek itu kembali ke tempat acara hajatan dengan hanya mengenakan baju atasan terbuka. Turis lainnya sudah mengingatkkan, namun tidak digubris.
Betul sekali, warga mulai heboh, apalagi jam 18:00 banyak tamu akan datang memenuhi udangan tuan rumah untuk "walimahan" (acara akad nikah). Karena tidak ingin kegiatan itu terganggu oleh pakaian mini, seseorang menelepon Slamet yang sedang berada di desa lain.
Pikiran Slamet waktu itu campur aduk. Ada apa dengan si nenek? Jangan-jangan ia mengalami kecelakaan. Cepat-cepat ia memacu sepeda pancalnya ke Kalianyar. Tiba di lokasi, ia mendapati si nenek berada di dapur. Slamet sedikit lega karena kondisinya sehat.
Tapi melihat pakaiannya, pikiran Slamet tidak kalah pusing. Bagaimana si nenek itu bisa melanggar peraturan yang telah disepakati sehingga membuat warga heboh. Hati-hati Slamet menanyakan mengapa si nenek mengenakan pakaian seperti itu.
Dengan wajah setengah kesal si nenek menjawab bahwa ia berkeringat setelah bersepeda di sore hari. Setelah itu si nenek hendak beranjak dari dapur untuk pulang. Namun Slamet mencegahnya karena justru akan menambah persoalan. Masalahnya dari dapur ke rumah Slamet, si nenek akan melewati tempat kaum lelaki mengikuti "wilamahan".
"Jika dibiarkan dia pulang dan lewat di dekat bapak-bapak undangan yang mengikuti 'walimahan' kan tambah ramai. Saya suruh tunggu sampai acara selesai. Akhirnya dia mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Ini pengalaman menarik selama saya menerima tamu," ujarnya, tersenyum.
Slamet dan Joni mengaku cukup ketat memberlakukan ketentuan soal pakaian dan pergaulan berbeda jenis itu agar program rintisannya tidak merusak adat dan budaya yang bersendikan agama di wilayah itu.
Ia juga bercerita bahwa sekitar 30 persen tamunya yang menginap itu adalah ateis. Tidak jarang mereka mengajak berdiskusi soal agama ketika melihat masyarakat di Kalianyar kental dengan Islam. Kalau sudah tidak bisa menjawab, Slamet membawa si turis ke kiai gurunya untuk berdiskusi.
"Sekalian juga menjelaskan bahwa Islam yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia tidak seperti yang mereka persepsikan dengan teroris, misalnya. Kami juga menjaga nama baik Indonesia dengan menjelaskan dan menunjukkan bahwa kami orang Islam adalah orang baik," tambahnya.
Dengan caranya itu Slamet dan Joni ingin menjaga Indonesia dari desa. Ia ingin membuka mata dunia bahwa Indonesia dengan mayoritas umat Muslim mengedepankan sikap toleran dan kemanusiaan. Masih dalam konteks berpikir ini juga, Slamet dan Joni memperlakukan para turis layaknya tamu dekat atau dari desa sebelah.
Mereka berharap, jika kelak rintisannya ini berhasil dan Kalianyar serta desa-desa sekitarnya menjadi tujuan turis, tidak ada kejutan budaya. Turis datang kemudian menyesuaikan diri dengan budaya setempat dan masyarakat menikmati adanya perbaikan ekonomi, namun tidak lupa pada adat istiadat. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015