Eksistensi manusia adalah keseimbangan antara wadak dan ruh. Jika salah satu kurang, maka tidak utuhlah hakikat kemanusiaan. Manusia modern seringkali terjebak pada ambisi-ambisi pemenuhan nafsu pemuas wadak belaka. Pada titik tertentu, mereka merasakan adanya ruang yang hampa di dalam dirinya. Banyak cara dilakukan untuk mengisi ruang hampa itu. Bisa berkelana ke tempat-tempat yang memanjakan mata, atau bertamasya batin ke ruang-ruang reliji yang melengkapi kebermaknaan sebagai makhluk ruh. Menulis adalah salah satu tempat (cara) bertamasya yang juga sangat meneduhkan jiwa, meskipun tidak banyak orang memanfaatkannya. Menulis, khususnya sastra menyediakan beragam destinasi bagi pelakunya untuk melepaskan kepenatan batin sekaligus raga, melepaskan emosi-emosi negatif. Lies Wijayanti SW, sebagaimana tergambar dalam buku kumpulan puisinya berjudul "Mozaik" ini menunjukkan bagaimana karier, barangkali juga uang serta beragam simbol sukses bagi manusia modern tetap menyisakan ruang hampa. Lies yang berkarier di birokrasi tidak lari dari ruang hampa itu. Ia mengisinya dengan menulis. Pilihannya adalah puisi. Puisi "Ketika" di bawah ini adalah esensi dari puisi-puisi lain yang ia rangkum mulai tahun 1979 hingga 2012. Ketika Ketika disposisi berubah jadi puisi rapat bernuansa drama teatrikal pidato beraroma potery reading, aku temukan keseimbangan Ketika bicara tak melulu pakai pikiran, namun hati nurani dilibatkan aku menjadi manusia seutuhnya ketika, pada saat, bilamana aku tiada sudi berada sendiri di ruang hampa. Pada puisi di atas, Lies yang pendidikan formalnya di bidang pertanian dengan gelar PhD bidang "flowering physiology" dari Universitas Saitama Jepang itu, menunjukkan perlunya keseimbangan. Hal itu bisa ditangkap dari pilihan diksi mengenai "keseimbangan", "manusia seutuhnya" dan "ruang hampa". Kerinduan pada asali sebagai makhluk ruh juga terlihat dalam beberapa puisi, seperti "Cinta tanpa Muara" yang berbicara mengenai otak kiri (logika) atau pada "Inilah Kisahnya". Pada puisi Inilah Kisahnya, Lies memaparkan bagaimana pada saat tertentu, manusia bisa mencampakkan segala yang bersifat ragawi yang direpresentasikan oleh penggunaan otak kiri. Atau ketika orang-orang tercintanya mulai meninggalkan Lies, ia masuk ke ruang destinasi batin itu. Ia menggauli imaji-imaji kata untuk menggambarkan betapa kehilangannya ketika ayah bundanya pergi memenuhi takdir kembali ke kerajaan Ilahi. Maka lahirlah puisi "Destinasi Abadi 1" untuk sang ayah dan "Destinasi Abadi 2" untuk ibunda. Pilihan Lies tidak salah. Sebagaimana diungkapkan sastrawan yang juga penggerak aktivitas menulis kreatif Naning Pranoto bahwa menulis itu merupakan bagian dari terapi jiwa. Dalam batas tertentu, Lies telah melakukan terapi atas kehampaan jiwanya berkutat dengan rutinitas kantor ataupun saat ditinggalkan orang-orang terkasihnya. Tidak semua ekspresi puisi Lies dalam suasana duka. Ia juga mencatat momen-momen ketika manusia memerlukan tempat asalinya sebagai makhluk kasih atau pribadi mencinta/dicinta. Misalnya dalam puisi "Kemuning". Kemuning Kemuning, kemuning, bawa semerbakmu pada pautan hatiku katakan padanya aku rindu Atau pada puisi: Cempaka Melati Melatiku, melatiku gerangan kekasihku, ia mengingatku? Meskipun untuk pengisi ruang hampa, tak berarti puisi Lies hanya mengekspresikan keadaan dirinya. Ia juga memotret suasana di luar sebagai bentuk kepedulian dan makhluk sosial. Misalnya dalam puisi "Antara Cirebon-Jatinegara" atau di "Kuli-kuli Stasiun Tawang". Buku Mozaik ini tergolong unik, sekaligus menunjukkan multitalenta perempuan kelahiran Kudus, Jawa Tengah, 17 April 1959 ini. Lies juga menulis puisi dalam Bahasa Inggris yang dalam Mozaik ini hampir separuh dari 51 puisinya ditulis dalam Bahasa Inggris. Lukisan-lukisan dengan objek bunga atau wajah sebagai pelengkap antologi ini juga menunjukkan kepiawaian Lies meramu warna. Betapa Lies memiliki energi luar biasa yang jika tidak menemukan saluran-saluran, lewat puisi atau kuas dan kanvas, boleh jadi akan menjadi masalah secara psikologis. Banyaknya pengantar dari sejumlah tokoh, baik sastra, mantan birokrat maupun pengamat politik menunjukkan betapa luasnya pergaulan Lies yang barangkali juga menjadi gambaran atas besarnya energi jiwanya itu. Ada pengantar dari budayawan terkemuka almarhum Sides Sudyarto DS yang semasa hidupnya menjadi Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), ada juga Naning Pranoto (sastrawan), Romo Mudji Sutrisno (rohaniawan), Kusmayanto Kadiman (mantan menteri) dan epilog dari Eep Saefulloh Fatah. Menulis adalah saluran mengalirkan energi. Boleh jadi, hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2015 yang menyebutkan bahwa penduduk kota lebih bahagia dibandingkan dengan desa dan yang berpendidikan tinggi lebih bahagia dibandingkan yang berpendidikan rendah menemukakan secercah jawaban di sini. Lies yang merepresentasikan penduduk kota dan berpendidikan tinggi, kini menemukan banyak cara untuk mengisi "ruang hampa". Ruang hampa tentu berkontribusi besar pada kondisi ketidakbahagiaan seseorang jika salah mengisinya atau tidak menemukan salurannya. Wallahu a'lam.(*)

Pewarta:

Editor : Slamet Hadi Purnomo


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2015