Ulama kharismatik di Pulau Garam, Madura yang dikenal sebagai pembela rakyat kecil dalam kasus "berdarah" Waduk Nipah di Kabupaten Sampang KH Alawy Muhammad, Senin (10/11) sekitar pukul 16.30 WIB, berpulang ke Rahmatullah.
"Sejak sebulan terakhir ini, KH Alawy memang sering sakit-sakitan dan dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sampang," tutur keluarga almarhum, Nurullah, kepada Antara di rumah duka di Dusun Tanggumung, Desa Karongan, Sampang, Senin (10/11) malam.
Karena kondisinya kian memburuk, maka KH Alawy pun dirujuk ke Rumah Sakit PHC Surabaya di kawasan Perak, Surabaya, sejak Minggu (9/11).
Namun, di ruang ICU (intensive care unit) RS PHC itu, kondisi pengasuh Pesantren At-Taroqy, Sampang itu justru kian memburuk, hingga akhirnya meninggal dunia. Innalillahi...
Kabar wafatnya tokoh ulama kharismatik Madura asal Sampang ini cepat menyebar ke masyarakat, baik ulama pengasuh pondok pesantren di Pulau Madura, maupun jajaran pengurus Partai Persatuan Pembangunan (PPP), karena KH Alawy merupakan tokoh yang dikenal getol berjuang di partai berasaskan Islam itu.
Bahkan, kabar tentang wafatnya ulama sepuh itu juga segera menyebar ke kalangan pejabat di lingkungan Pemkab Sampang. Beberapa orang pejabat teras di lingkungan Pemkab Sampang, bahkan terlihat sudah berada di rumah duka sejak Senin (10/11) malam.
"Kami merasa sangat kehilangan. Beliau merupakan tokoh ulama yang dikenal kharismatik," kata Wakil Bupati Sampang Fadilah Budiono di rumah duka.
Ratusan orang, sejak Senin (10/11) petang atau sebelum jenazah tiba sudah terlihat memadati rumah duka di kompleks Pesantren At-Taroqi, Dusun Tanggumung, Desa Karongan, Sampang.
Sejumlah personel polisi dari Polres Sampang, terlihat berjaga-jaga di sekitar pondok pesantren dan sebagian mengatur arus lalu lintas dari arah Kota Sampang yang hendak menuju Kecamatan Kedungdung dan sebaliknya.
Sekitar pukul 20.00 WIB, ambulans pembawa jenazah almarhum tiba di rumah duka.
Ya, KH Alawy memang menjadi tokoh banyak kalangan, termasuk KH Alawy juga dikenal sebagai pembela rakyat kecil yang paling berani saat pemerintahan Orde Baru masih berkuasa.
"Kiai Alawy ini merupakan ulama yang berani melawan siapapun saat itu," kata Sekretaris DPC PPP Pamekasan yang juga pengasuh pondok Pesantren Jungcangcang, KH Wazirul Jihad.
Kasus Nipah
Nama KH Alawy Muhammad mulai dikenal banyak orang setelah tragedi Nipah yang terjadi pada 25 September 1993.
KH Alawy merupakan ulama Madura yang getol membela petani Sampang yang terdampak pembangunan Waduk Nipah di Kecamatan Banyuates, Sampang itu.
Konflik itu bermula dari permasalahan tanah milik masyarakat yang akan dijadikan waduk.
Bagi sebagian masyarakat di wilayah ini, tanah bukan hanya bermakna ekonomis, namun juga bermakna kultural, yakni tanah dipahami sebagai sebuah pusaka, yakni peninggalan leluhur yang harus dijaga dan dipertahankan.
Tanah pusaka, atau tanah warisan bagi warga Nipah dan Madura pada umumnya, tidak boleh jual, karena merupakan bentuk penghormatan kepada orang tua yang telah mewariskan tanah itu.
Namun, pemerintah kala itu hanya melihat bahwa masyarakat Nipah yang meliputi delapan desa membutuhkan sebuah waduk irigasi untuk meningkatkan penghasilan pertanian mereka menjadi dua kali lipat.
Hal itu karena pemerintah melihat wilayah Nipah itu hanya sebagai hamparan lahan kering yang tak bermakna, sehingga perlu dimanfaatkan.
Dalam proses pembebasan tanah, masyarakat pemilik tanah tidak dilibatkan, sehingga menimbulkan reaksi keras dari pemilik tanah. Pemerintah dalam hal Pemkab Sampang kala itu tidak mengindahkan penolakan warga, bahkan melibatkan aparat keamanan, yakni TNI.
Kebijakan tidak kooperatif pemerintah inilah yang menjadi perhatian KH Alawy untuk melakukan advokasi kepada masyarakat di sekitar lokasi pembangunan waduk Nipah Sampang.
"Waktu itu Orde Baru masih berkuasa. Jadi siapa yang melawan kebijakan Orde Baru pasti akan habis, dan Kiai Alawi menyadari risiko itu," ujar teman KH Alawi Muhammad di Pamekasan, KH Fudholi M Ruham.
Tidak hanya itu, tokoh ulama Sampang ini juga dikenal sebagai tokoh yang berani memprotes kecurangan pemilu yang terjadi pada tahun 1997 oleh penyelenggara pemilu dan pemerintah kala itu.
"Ketegasan beliau serta komitmen pembelaannya kepada kaum tertindas yang menjadikan KH Alawy cukup disegani oleh banyak orang dan menjadi tokoh ulama terkenal di Pulau Madura," kata pengasuh pondok pesantren Al-Fudlala, Kelurahan Barurambat, Pamekasan itu.
Anak Petani
Berbeda dengan ulama pengasuh pondok pesantren lainnya di Pulau Madura yang menjadi pengasuh pondok pesantren karena warisan orang tuanya, namun KH Alawy Muhammad justru dari kalangan orang biasa, yakni dari keluarga petani.
Saat masih muda, KH Alawi bahkan sempat merantau ke Jawa dengan menjadi pedagang, sebagaimana kebanyakan warga Madura pada umumnya.
Beberapa sumber menyebutkan, pada usia 27 tahun KH Alawy menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah hingga tiga kali berturut-turut dan yang terakhir pada tahun 1985.
Ketika itulah, ia belajar agama kepada ulama-ulama ternama di Mekkah, selain kepala keluarganya sendiri di Sampang, Madura.
KH Alawy kemudian menjadi pengasuh pondok pesantren, karena saat itu pengasuh pondok meninggal dalam usia muda, hingga akhirnya keluarga pesantren menunjuk Kiai Alawy sebagai pengasuh.
Tidak hanya itu, ia juga aktif di partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yakni partai politik yang menjadi wadah perjuangan politik umat Islam kala itu.
Kiprah Kiai Alawy dalam dunia politik karena tokoh kharismatik ini berkeyakinan bahwa terjun di dunia politik merupakan keharusan, dan politik merupakan media dakwah.
Meski baginya, politik merupakan keharusan dan umat Islam harus masuk dalam wadah partai politik yang berideologi Islam, namun kiai ini justru menolak jika negara berasaskan Islam atau membentuk negara Islam.
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menurutnya, merupakan harga mati dan sudah berdasarkan kesepakatan semua perwakilan umat agama yang berbeda keyakinan.
Saat Wakil Presiden M Jusuf Kalla berkunjung ke kediamannya di Sampang dan hendak mencalonkan lagi sebagai Calon Presiden RI pada Pemilu 2009 yang berpasangan dengan Wiranto, KH Alawi bahkan berpesan agar Pancasila tetap dipertahankan.
"Saya minta pak Jusuf Kalla tetap berpegang teguh pada Pancasila dalam menjalankan tugas pemerintahan, karena Pancasila merupakan dasar negara," katanya kala itu.
Kini, pejuang agama, pejuang rakyat, dan pejuang Pancasila itu telah kembali ke haribaan-Nya dengan mewariskan pentingnya perjuangan untuk agama, rakyat, dan Pancasila. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014