Surabaya (Antara Jatim) Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Djoko Santoso memilih bersikap netral terkait Capres Prabowo Subianto dan Joko Widodo dalam Pilpres 2014, karena pemimpin dari militer atau sipil itu tidak perlu dipersoalkan, bahkan keduanya harus saling mengisi.
"Militer atau sipil itu wajar dalam demokrasi, saya kira situasi politik akan mengerucut pada dua nama yakni Prabowo Subianto dan Jokowi, kecuali kalau Partai Demokrat membuat poros sendiri dengan berkoalisi dengan Golkar," katanya di Surabaya, Jatim, Senin.
Setelah berbicara dalam kuliah tamu bertajuk "Pengaruh Stabilitas Keamanan terhadap Ekonomi" dalam rangka Dies Natalis ke-11 BEM FE Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya, ia mengaku dirinya memang netral, tapi dirinya akan memilih salah satu dari capres yang ada.
"Kalau ditanya soal dukungan, itu rahasia. Prabowo (Capres Gerindra) itu senior saya, Ryamizard Ryacudu (yang disebut-sebut menjadi salah seorang cawapres dari Capres PDIP, Jokowi) juga senior saya. Saya pernah jadi anak buah mereka, jadi saya netral saja," ucapnya.
Namun, ia menilai pemimpin haruslah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri dan orang yang mengutamakan rakyatnya. "Ibarat komandan peleton itu, dia tidak akan makan kalau prajuritnya belum makan, jadi komandan itu makan-nya belakangan," tuturnya.
Ketua Dewan Pembina Gerakan Indonesia Adil, Sejahtera, Aman (Indonesia ASA) itu justru menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan sosok pemimpin yang sangat sabar dan berprestasi.
"Beliau merupakan sosok militer yang sangat sabar, karena dikritik sana-sini tidak emosional, tapi pihak luar negeri justru banyak memuji beliau, karena pemimpin itu jangan ada dikotomi sipil-militer. Stabilitas keamanan itu menentukan stabilitas ekonomi, itu sunnatullah," ujarnya.
Menurut dia, keamanan justru dapat menjadi alat negosiasi dengan pihak luar negeri atau investor, karena ibarat rumah yang kebakaran, maka penghuninya tidak mungkin bisa memasak, dan semacamnya.
"Kalau Bung Karno menggagas Trisakti dalam ekonomi, politik, dan budaya, maka Indonesia ASA mengusulkan Trilogi yakni adil, sejahtera, dan aman. Untuk keadilan, kita ingin kesejahteraan yang ada tidak menimbulkan kesenjangan, sekarang sepertinya luar Jawa tidak diperhatikan," katanya.
Terkait keamanan, ia mengibaratkan Indonesia seperti kapas yang sangat transparan, sehingga keamanan merupakan hal yang penting agar tidak mudah diintervensi negara lain atau warga negara sendiri yang mempunyai agenda lain.
"Karena itu, UU Keamanan bagi Indonesia ASA merupakan keharusan, karena negara-negara maju juga memiliki seperti itu, bahkan Malaysia juga memiliki apa yang disebut sebagai 'security act'," tukasnya.
Dalam sesi dialog ada seorang mahasiswa yang menanyakan ketertinggalan Indonesia dibandingkan dengan Malaysia, ia mengatakan hal itu tidak sepenuhnya tepat, karena jumlah penduduk di Malaysia itu hanya 10 persen jumlah penduduk Indonesia.
"Tapi, Malaysia memang memiliki security act, bahkan kita juga belum mengutamakan kepentingan umum, sehingga kebijakan Pak Harto untuk memprioritaskan kelompok kaya dan akhirnya mereka membantu kelompok miskin tidak terlaksana. Atau, pembangunan Waduk Kedungombo dan Waduk Nipah juga tidak jalan, karena keberatan satu orang saja," katanya.
Selain itu, sistem yang ada juga masih belum jelas antara presidensiil dengan parlementer. "Karena kita menganut presidensiil tapi praktiknya parlementer karena banyak parpol yang akhirnya menyulitkan dalam pengambilan keputusan," tuturnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014