Malang (Antara Jatim) - Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Malang, Jawa Timur, menginstruksikan iuran sebesar Rp5.000 perbulan bagi buruh di PT Indonesian Tobacco yang diserahkan pada Serikat Pekerja Seluruh Indonesia untuk dihentikan sementara hingga masalah keuangannya beres. Kepala Bisang Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja dan Trnasmigrasi (Disnakertrans) Kota Malang Kasiyadi, Senin, menegaskan sebelum masalah keuangan di SPSI PT Indonesian Tobacco tersebut tuntas, iuran sebesar Rp5 ribu itu harus dihentikan, bahkan SPSI di perusahaan itu juga wajib menginventarisasi ulang jumlah peserta atau anggotanya. "Kami memberikan waktu selama dua pekan bagi pengurus SPSI di PT Indonesian Tobacco untuk menyelesaikan sekaligus mempertanggungawabkan keuangan yang dipungut dari iuran anggotanya dan disampaikan langsung pada anggota maupun manajamen perusahaan," tegas Kasiyadi ketika memediasi antara manajemen, perwakilan buruh dan SPSI di PT Indonesian Tobacco. Dalam pertemuan tersebut, juga disepakati tidak akan ada unjuk rasa yang dilakukan buruh anggota SPSI di perusahaan yang bergerak di bidang tembakau iris itu pada Rabu (7/5). Rencana unjuk rasa tersebut terkait surat peringatan dari perusahaan yang diberikan kepada 13 buruh agar ke-13 buruh tersebut tidak mengulangi kesalahan yang sama. Sejak tahun 2009, pihak perusahaan diminta SPSI yang ada di perusahaan itu untuk memungutkan iuran anggota SPSI sebesar Rp5 ribu per orang/bulan. Hanya saja, ketika anggota SPSI yang merasa membayar iuran setiap bulan tersebut meminta transparansi pengelolaan keuangan, pengurus SPSI selalu menghindar dan akhirnya buruh minta tolong ke perusahaan. Ketika manajemen menanyakan kepada pengurus, justru pengurus dan anggota SPSI lainnya di lingkungan perusahaan itu mengancam akan unjuk rasa di perusahaan dengan tuntutan agar perusahaan memberikan hak-hak normatif buruh, perusahaan jangan melakukan intimidasi dan perusahaan tidak perlu mengintervensi keuangan SPSI. Sementara Ketua DPC SPSI Kota Malang Suhirno yang dalam pertemuan itu mendampingi buruh mengakui buruh memang dipungut iuran dan uang pangkal ketika menyatakan diri menjadi anggota. Iuaran tersebut dipungut melalui perusahaan dan disetorkan ke SPSI, di mana 50 persen disetor ke DPC dan 50 persen lainnya untuk kegiatan SPSI di lingkup perusahaan. "Kami bisa mempertanggungjawabkan uang iuran tersebut, namun tidak bisa setiap tahun, apalagi bulanan karena laporan pertanggungjawaban keuangan berdasarkan AD/ART dilakukan tiga tahun sekali," tegas Suhirno. Pemilik PT Indonesian Tobbaco Djonny Saksono mengatakan jumlah buruh di perusahaannya saat ini sebanyak 410 orang, namun berapa yang menjadi anggota SPSI jumlahnya masih simpang siur karena jumlahnya selalu berubah. Tapi, jumlah buruh yang gajinya dipotong sebesar Rp5.000 per bulan itu hampir tidak pernah ada perubahan. Padahal, kata Djonny, jumlah buruh yang ada di perusahaan ada perubahan karena ada yang pensiun atau pindah ke organisasi buruh lainnya. "Tapi, pengurus SPSI mengusulkan jumlah karyawan yang dipotong gajinya tidak pernah kurang dari 370 orang," ujarnya. Djonny juga mempertanyakan penggunaan dana bantuan yang diberikan perusahaan kepada SPSI sebesar Rp660 ribu per bulan, sebab saat ini dana sosial untuk bantuan bagi buruh yang terkena musibah juga sudah dihentikan oleh pengurus SPSI. "Bukan manajemen atau perusahaan ingin mencampuri atau intervensi SPSI, tapi kalau kami 'sambati' oleh karyawan kami, apa kami akan terus diam. Kami coba menjembati antara anggota dan pengurus SPSI yang ada di lingkungan PT Indonesia Tobacco, tapi kenapa ketika kami sampaikan masalah ini, justru perusahaan yang akan didemo," tegas Djonny. (*)

Pewarta:

Editor : Didik Kusbiantoro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014