Surabaya (Antara Jatim) - Sejumlah peserta proses seleksi calon komisoner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur memprotes tim seleksi dan akan melakukan upaya hukum meminta dilakukan tes ulang. "Saya akan menempuh jalur hukum. Sambil mempersiapkannya, hari ini saya menulis surat ke Komisi A DPRD Jatim untuk memanggil Timsel, Tim Psikologi, dan Komisi Informasi agar dilakukan klarifikasi," ujar peserta seleksi Muries Subiantoro kepada wartawan, Senin. Menurut dia, Timsel tidak transparan dalam melakukan proses perekrutan dan melihat ada beberapa hal yang ganjil, di antaranya tentang tidak disampaikannya secara terbuka nilai ujian, baik tertulis maupun penilaian psikologis kepada peserta ujian. "Seharusnya, sesuai UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, nilai itu menjadi hak peserta untuk diketahui," kata mantan Anggota KPU Magetan tersebut. Di samping itu, dari 20 besar nama yang lolos, hanya diwakili satu perempuan. Ini berarti, kata dia, Timsel sengaja melupakan keterwakilan 30 persen perempuan sejak awal. Tidak itu saja, lolosnya empat calon komisioner petahana juga menjadi pertanyaannya. Padahal, Andry Dewanto, Agus Mahfudz, Nadjib Hamid dan Agung Nugroho pernah mendapat sanksi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). "Berbeda dengan Sayekti Suindyah yang merupakan Doktor lulusan Universitas Airlangga Surabaya dan telah 11 tahun sebagai KPU malah tidak lolos. Kami rasa, rekayasa Timsel ini keterlaluan," katanya. Dikonfirmasi terpisah, meski bisa menerima ketidaklolosannya, Sayekti Suindyah mengaku tidak habis pikir dengan keputusan Timsel. Dari total 170-an yang lolos seleksi administrasi, perempuannya hanya 23 orang. Kemudian, dari 20 besar juga hanya lolos satu. "Pertanyaannya, apakah perempuan Jatim memang tidak ada yang kompeten? Selain itu, kenapa hasil tiga tes tidak dibeber saja ke publik? Kalau tidak dibeber maka akan menimbulkan kecurigaan," kata Komisioner KPU Jatim Divisi Logistik dan Anggaran itu. Sementara itu, Ketua Timsel KPU Jatim 2014-2019, Aribowo, mempersilahkan jika ada peserta yang protes dan menempuh jalur hukum karena itu hak setiap orang dan tidak dilarang di negara demokrasi ini. "Tapi asal tahu saja, 20 besar yang lolos itu merupakan kompilasi dari tiga tahapan seleksi, mulai tes tulis kepemiluan yang soalnya dari KPU RI, tes kesehatan dari rumah sakit, dan psikotes dari lembaga psikologi berkompeten," katanya. Bahkan, kata dia, pihaknya belum menyentuh apapun dari hasil tes-tes tersebut karena murni dari hasil mereka sendiri, sehingga timsel belum muncul subjektifitasnya. "Kemudian, sesuai Surat Edaran KPU RI, nilai-nilai peserta memang tidak bisa dibuka karena bukan kewenangan timsel," kata Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga Surabaya tersebut. Sedangkan, terkait keterwakilan perempuan, lanjut Aribowo, dalam aturan tertulis memperhatikan, bukan harus 30 persen. Dengan demikian, pihaknya tidak bisa memaksakan 30 persen perempuan jika ada laki-laki yang nilainya jauh di atas. (*)

Pewarta:

Editor : Masuki M. Astro


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2014