Profesi guru yang kian menjanjikan, kini tak lagi dipandang sebelah mata oleh masyarakat, bahkan semakin diburu. Masyarakat berlomba-lomba dan terus berupaya bagaimana bisa menjadi seorang guru dengan status pegawai negeri sipil (PNS). Bahkan, status PNS dengan gaji yang sudah memadai itu masih ditambah dengan tunjangan profesi pendidik (TPP) bagi yang telah lolos kompetensi. Untuk lolos kompetensi memang tidak mudah, banyak mekanisme dan proses yang harus dilalui seorang guru. Kondisi kesejahteraan seorang guru belasan tahun silam dengan beberapa tahun terakhir ini memang sangat jauh berbeda. Sekarang, hampir tidak pernah kita jumpai seorang guru bersepeda angin kuno, kucel seperti yang digambarkan dalam lagu Iwan Fals yang berjudul "Umar Bakri". Guru sekarang ini, minimal sudah memiliki sepeda motor, bahkan tidak sedikit yang juga memiliki mobil mewah karena gaji yang mereka terima sejak pemerintahan Indonesia dipimpin oleh Presiden ke-4 RI almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur) benar-benar menjadi perhatian serius dan dinaikkan menjadi beberapa kali lipat. Belum lagi ketika seorang guru yang sudah lulus sertifikasi dan berhak mendapatkan TPP. Bahkan, mantan Kakandepag Kota Malang M Chomsin pernah mengatakan pendaftar calon haji dan umrah dalam lima tahun terakhir sangat tinggi dan sebagian besar dari kalangan guru karena gaji guru sekarang sudah cukup memadai. Masalahnya, apakah gaji yang diberikan pemerintah tersebut sudah sebanding dengan pekerjaan dan tanggung jawab yang mereka emban sebagai orang kedua setelah orang tua siswa yang paling bertanggung jawab atas perilaku dan akhlak generasi muda. Sebab, guru tidak hanya bertanggung jawab secara akademis untuk meraih nilai bagus dan tinggi, tapi juga bertanggung jawab secara moral untuk mendidik dan menuntun siswa-siswinya memiliki etika, moral dan akhlak mulia. Di tengah gaji yang membaik itu, seorang guru bukan tanpa masalah, karena guru masih disibukkan dengan beberapa hal. Pertama, perubahan Kurikulum 2013 yang lebih detail dan "njlimet" (rumit). Banyak guru yang mengeluh, sebab banyak pemateri saat sosialisasi yang tidak begitu paham dengan isi Kurikulum 2013. Belum lagi, tarik ulur terkait ujian nasional (UN) apakah tahun depan masih akan diberlakukan ataukah dihapuskan, bahkan di jenjang SMA, apakah akan menjadi salah satu pertimbangan (kompenen) untuk masuk perguruan tinggi negeri (PTN) atau tidak. Kedua, tak jarang guru akan mendapatkan caci maki ketika nilai akademis siswa tidak sesuai yang diharapkan, bahkan ketika seorang siswa menyimpang dari etika. Padahal, kalau kita mau jujur, pendidikan anak-anak (siswa) tidak hanya menjadi tanggung jawab seorang guru, tapi semua komponen, termasuk orang tua dan lingkungan sekitar. Baik buruknya masa depan generasi muda tidak hanya ada di tangan seorang guru, tapi banyak pihak. Memang, guru telah banyak melahirkan pejabat, dokter, diplomat, politisi, bahkan seorang presiden. Peran guru memang sangat besar dalam membentuk karakter anak, tapi di samping dan di belakang seorang guru masih ada orang tua dan lingkungan yang ikut membentuk pribadi seorang anak. Ketiga, seorang guru tetap layak menyandang gelar "Pahlawan tanpa Tanda Jasa" dengan perjuangan akan kesejahteraan guru yang masih berstatus guru tidak tetap (GTT) alias honorer yang gajinya masih jauh dari kata layak. Oleh karena itu, pemerintah pusat maupun di daerah juga wajib untuk memberikan penghargaan yang tinggi atas pengabdian guru honorer ini, mereka tidak kenal lelah, tanpa mengeluh meski honor yang diterima tidak sepadan dengan tanggung jawab dan beban yang diemban. Peghargaan itu bisa berupa tambahan honor atau insentif minimal setara dengan upah minimum kota/kabupaten (UMK) yang berlaku di daerah masing-masing. Jangan sampai di zaman seperti sekarang ini masih ada seorang guru yang hanya bergaji Rp500 ribu/bulan. Selamat Hari Guru Nasional, pengabdianmu sungguh luar biasa, bahkan telah melahirkan orang-orang hebat di Tanah Air kita tercinta. (*) (endang_mlg@yahoo.com)

Pewarta:

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013