Surabaya (Antara Jatim) - Kepolisian Sektor Sawahan, Kota Surabaya, masih mendalami kasus dugaan perdagangan manusia (trafficking) untuk dijadikan wanita tuna susila (WTS) di salah satu wisma di Lokalisasi Jarak, Surabaya. "Ya, kami masih mendalami lagi, sebab bukan tidak mungkin kasus serupa terjadi di sejumlah wisma-wisma lainnya," ujar Kapolsek Sawahan, Komisaris Polisi Manang Soebekti, kepada wartawan, Kamis. Pihaknya yakin masih ada wisma-wisma lain yang memperlakukan WTS dengan sewenang-wenang. Selain itu, mereka juga mendapatkan pekerjaan dari hasil pelanggaran pidana. "Jika saya masih mendengar dan melihat adanya perbuatan ini lagi, saya dan jajaran tidak akan segan-segan menindaknya lebih tegas," kata dia. Di Wisma Permata Biru, salah satu wisma di Lokalisasi Jarak, petugas gabungan yang sedang menggelar razia menemukan empat WTS yang diduga sebagai korban perdagangan manusia. Ini setelah tim gabungan yang terdiri dari Garnisun Tetap, Satpol PP Kota Surabaya dan Polsek Sawahan menerima informasi adanya kasus "trafficking". Setelah dilakukan penggerebekan pada Selasa (22/10) malam, ternyata benar, ada empat wanita yang mengaku dipaksa menjadi WTS. Tidak hanya itu, petugas langsung membawa dua pengelola wisma untuk dimintai keterangan. Setelah mendengarkan laporan dari sejumlah saksi, dua bos wisma berinisial Sug (44) dan Skd (46) itu ditetapkan sebagai tersangka. "Keduanya telah menjalani proses pemeriksaan. Selain itu, tindakan ini kami lakukan agar timbul efek jera dan pengelola-pengelola wisma yang lain agar tidak melakukan hal serupa karena melanggar pidana," katanya. Kedua tersangka akan dijerat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. Tidak hanya itu, polisi juga menjerat kedua tersangka dengan Pasal 506 KUHP tentang mucikari serta 296 KUHP tentang memudahkan perbuatan cabul dan menjadikan kebiasaan. Sementara itu, empat korban ketika dimintai keterangan di hadapan penyidik mengaku sudah tiga bulan menjadi korban kesewenangan pengelola wisma dan dipaksa menjadi WTS. Keempatnya masing-masing berinisial nama SNA (24), asal Pati Jawa Tengah, IT (21), Nur (23) dan Tar (29) yang ketiganya berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah. Kepada penyidik, mereka mengaku dibayar Rp24 ribu untuk sekali pelayanan, padahal pelanggan membayar Rp100 ribu untuk sekali kencan. Setiap malam, keempatnya diharuskan melayani tiga tamu secara bergantian. "Saya dan tiga teman lainnya hanya mendapat Rp24 ribu, padahal tarifnya Rp100 ribu. Itupun selama ini kami ditempatkan di ruangan yang tidak layak, bahkan disekap di dalam," kata SNA, salah satu korban. Kepada polisi, mereka juga menuturkan alasan hingga bisa bekerja sebagai WTS di Lokalisasi Jarak. Menurut SNA, ia dan ketiga rekannya terbelit faktor ekonomi sehingga bersedia. "Tapi kami malah diperlakukan tidak wajar dan sering dalam tekanan. Saya menyesal bekerja seperti ini dan tidak akan pernah mau kembali lagi," katanya. (*)

Pewarta:

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013