Zakat bukanlah isu yang seksi, karena zakat selama ini hanya dipahami secara teologis, padahal zakat itu indah bila dipahami secara sosiologis, bahkan bisa sangat indah. Secara teologis, zakat adalah kewajiban individu yang seolah-olah tidak ada kaitan dengan orang lain sama sekali, karena cukup ditunaikan setahun sekali dan sangat individual!. Sejatinya tidak begitu. "Zakat itu ibarat jendela," ucap dai yang keturunan etnis China, Ustadz H Achmad Syaukanie Ong, dalam pengajian di Masjid Baitul Mukminin, Barata Jaya VIII, Surabaya (14/7). Namanya jendela, zakat itu bisa menjadi sarana untuk melongok "dunia luar" dan zakat juga bisa menjadi sumber masuknya "angin segar" bagi rumah dan sang pemiliknya. Artinya, zakat itu harus dipahami secara sosiologis, bukan hanya berdimensi teologis. Saat ini, potensi zakat di Indonesia bisa mencapai Rp2 triliun dalam setahun. Ya, potensi yang luar biasa. Potensi sebesar itu tidak akan terlihat bila zakat hanya dipahami secara teologis, karena akan menjadi kewajiban agama bagi setiap individu Muslim. Itu saja. Akan berbeda halnya dengan pemahaman sosiologis. Cara pandang sosiologis membuat zakat menjadi "jendela" bagi individu dan orang lain dalam menarik manfaat dari ajaran agama yang sangat sosial itu. Dengan cara pandang seperti itulah, maka umat Islam tidak akan merasa cukup dengan hanya membayar zakat yang hanya bermakna bagi dirinya dan keluarganya. Masih ingat dengan tragedi zakat di Pasuruan, Jatim pada tahun 2009? Itulah dampak dari pemahaman zakat yang masih sebatas pada dimensi teologis. Secara sosiologis, umat Islam tidak akan merasa cukup dengan membayar zakat, namun bagaimana membayar zakat yang mampu mengatasi masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan, kebodohan, dan sejenisnya. Dalam dimensi sosiologis itu, eksistensi lembaga zakat (amil) menjadi lembaga yang sangat diperhitungkan. Siapa lembaga yang mampu mengelola zakat secara amanah, profesional, dan transparan? Siapa lembaga yang mampu mengentas "fukara masakin" (fakir miskin)?. Dimensi itu dibenarkan pakar hukum bisnis Islam dari Surabaya Dr Abd Salam Nawawi MAg. Baginya, zakat akan lebih efektif diberikan dengan berbentuk program daripada diberikan dalam bentuk uang tunai (kecuali zakat fitrah yang sebaiknya diberikan dalam bentuk beras). "Kalau diberikan dalam bentuk uang, nanti dipakai untuk beli rokok, handphone, dan kebutuhan konsumtif lainnya, sehingga tidak akan efektif," tukasnya. Dosen Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya itu menjelaskan zakat dalam bentuk program itu tidak menyalahi hukum Islam, karena hal terpenting dari zakat adalah peruntukannya. "Peruntukan zakat ada delapan golongan yakni fakir (tidak berharta), miskin (tidak berpenghasilan), riqab (budak), gharim (pemilik utang), mualaf (baru masuk Islam), fisabilillah (pejuang di jalan Allah), Ibnu Sabil (musyafir/perantau), dan amil (panitia zakat)," tuturnya. Oleh karena itu, katanya, meski zakat itu diberikan dalam bentuk bedah rumah, pendidikan anak jalanan, dana bergulir untuk pedagang kecil, dan sebagainya tidak masalah, asalkan penerimanya adalah fakir, miskin, dan seterusnya. "Penyaluran zakat dalam bentuk program itu lebih efektif, karena kemaslahatan zakat akan lebih terjamin. Zakat itu penting, tapi manajemen zakat itu tidak kalah pentingnya," paparnya. Ke depan, manajemen zakat agaknya harus dioptimalkan, karena efektivitas zakat akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada zakat, sehingga mereka akan merasakan manfaat zakat untuk pengentasan kemiskinan. Jadi, manfaat zakat bukan individual sekali untuk sekadar memamerkan kemakmuran seseorang!. (*/edyyakub@yahoo.com).

Pewarta:

Editor : FAROCHA


COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013