Oleh Amri Setiani
Surabaya (Antara Jatim) - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) peduli HIV/AIDS di Surabaya menilai upaya penanggulangan HIV/AIDS kurang diperhatikan pemerintah, sehingga penderita HIV/AIDS akhir-akhir ini semakin banyak akibat jarum suntik, transfusi darah, dan seks bebas.
"Karena itu, pemerintah perlu menjadikan upaya penanggulangan HIV/AIDS sebagai gerakan seperti halnya demam berdarah, flu burung, dan sebagainya," kata Direktur Program Yayasan Orbit (Our Roght To be Independent) Rudhy Wedhasmara di Surabaya, Selasa.
Ia mengemukakan hal itu saat "Media Visit" ke Kantor LKBN ANTARA Biro Jawa Timur bersama lima rekannya, di antaranya Hari Tsabit (Yayasan Genta Surabaya) dan Edo (GAYa Nusantara). Mereka diterima Kepala LKBN Antara Biro Jawa Timur Drs H Akhmad Munir dan staf.
Menurut dia, upaya penanggulangan HIV/AIDS perlu dijadikan gerakan, karena penyebaran virus itu sudah semakin luas, sehingga ibu rumah tangga di desa-desa pun sudah terjangkiti, karena tertular suaminya yang bekerja di luar daerah atau luar negeri dan suka "jajan".
"Kalau perhatian itu besar, tentu dana yang selama ini kami terima tidak lebih banyak dari donatur luar negeri," kata aktivis/pegiat LSM yang menangani HIV/AIDS di kalangan pecandu narkotika itu.
Padahal, kata Edo dari GAYa Nusantara, tidak akan bisa berlangsung lama, karena sejumlah donatur asing ingin melepaskan ketergantungan Indonesia pada tahun 2015. "Kalau itu terjadi dan perhatian pemerintah tetap kurang, maka HIV/AIDS akan semakin menyebar," katanya.
Apalagi, katanya, hasil pendampingan di lapangan menunjukkan banyak masyarakat yang minim pengetahuan soal AIDS bahwa ibu-ibu yang baik pun berpotensi terjangkit HIV/AIDS bila mereka memiliki suami yang "nakal" juga.
Senada dengan itu, Hari Tsabit dari Yayasan Genta Surabaya menilai kurangnya perhatian pemerintah itu juga terlihat dari tidak adanya dukungan kepada Komisi Penanggulangan AIDS (KPA). "Di Jatim masih 18 dari 38 kabupaten/kota yang memiliki KPA," katanya.
Bahkan, sebagian dari 18 KPA itu tidak memberikan anggaran yang memadai. "Misalnya, obat ARV (antiretroviral) yang dibutuhkan setiap penderita HIV/AIDS dalam satu bulannya itu senilai Rp2,2 juta dan harus dikonsumsi seumur hidup," katanya.
Selain itu, rencana Pemkot Surabaya melakukan penutupan lokalisasi di Surabaya juga kurang melibatkan kalangan LSM peduli HIV/AIDS, sehingga para wanita tuna susila (WTS) yang dipaksa berhenti itu pun "berkeliaran" di jalanan tanpa memperhatikan dampak penyakitnya.
Dalam kesempatan itu, para aktivis LSM peduli HIV/AIDS itu berharap pemerintah menjadikan upaya penanggulangan HIV/AIDS sebagai gerakan dan menjadikan HIV/AIDS sebagai isu penting melalui pemberian anggaran rutin lewat dinas kesehatan dari pusat hingga kecamatan. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013
COPYRIGHT © ANTARA News Jawa Timur 2013