IMarEST-ITS Soroti Besarnya Kebakaran Kapal di Indonesia
Minggu, 18 November 2012 10:13 WIB
Surabaya - ITS bersama Institute of Marine Engineering Science and Technology (IMarEST) menyoroti besarnya kebakaran kapal di Indonesia dengan menggelar "Annual General Meeting" yang melibatkan sejumlah perwakilan internasional dari Inggris dan Malaysia.
"Kami tidak ingin menyalahkan siapapun, namun kami hanya ingin mengkaji dan merekomendasi agar kejadian serupa tidak terulang kembali," ujar Ketua IMarEST Cabang Indonesia Timur, Dr Saut Gurning CMarTech, di Surabaya, Minggu.
Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mencatat bahwa tahun 2010 hingga Oktober 2011 telah terjadi 133 kecelakaan kapal di Indonesia dengan kebakaran menyumbang angka terbesar kedua sebesar 16 persen sebagai jenis kecelakaan yang paling sering terjadi.
Senada dengan itu, Harsono FIMarEST mewakili perusahaan "marine consultant" Asuka Bahari Nusantara mengatakan, kebakaran selama ini memang selalu menjadi jenis kecelakaan kapal yang paling sulit untuk diatasi.
"Hampir semua kebakaran yang terjadi di kapal selalu tidak bisa dipadamkan. Kebakaran pada kapal paling sering terjadi di kamar mesin, karena ketiga unsur segitiga api yakni bahan bakar, panas, dan oksigen, semuanya terdapat di dalam kamar mesin," katanya.
Oleh karena itu, ia menilai konstruksi kamar mesin harus memenuhi sejumlah persyaratan khusus. Sebut saja, seluruh dinding kamar mesin harus terbuat dari bahan tahan api, seluruh akses ke kamar mesin harus selalu dalam keadaan tertutup, dan semua perlengkapan listrik di kamar mesin harus memenuhi persyaratan untuk kamar mesin kapal.
"Tapi ini semua persyaratan itu tidak pernah dipenuhi, coba cek kapal-kapal berbendera Indonesia, banyak pintu-pintu akses ke kamar mesin yang justru hanya diikat atau diganjal," katanya.
Ia mengakui banyak menemui peralatan listrik yang tidak memenuhi persyaratan digunakan di dalam kamar mesin kapal.
"Dari sisi operasional, setiap kapal seharusnya sudah memiliki prosedur untuk menanggulangi atau memadamkan kebakaran di kamar mesin. Prosedur itu juga harus dilengkapi dengan jadwal latihan keadaan darurat di kapal yang rutin dilakukan paling kurang satu bulan sekali," katanya.
Faktanya, hampir semua kapal berbendera Indonesia tidak memiliki prosedur penanggulangan kebakaran yang spesifik dengan untuk kapalnya.
"Pelatihan personel pun sering tidak dilakukan. Jangankan terlatih, bahkan personel banyak yang tidak tahu cara-cara menggunakan peralatan pemadam," katanya.
Kondisi kamar mesin yang kotor dengan minyak yang belepotan di lantai kamar mesin juga menjadi pemandangan biasa di kapal berbendera Indonesia.
"Kondisi minyak atau bahan bakar yang di tercecer lantai kamar mesin justru mempercepat perluasan api jika terjadi kebakaran," katanya.
Dari pertemuan itu, para pakar yang terlibat mengimbau bahwa sudah seharusnya "owner" kapal mempertimbangkan kepentingan keselamatan sebagai satu hal yang harus dipenuhi untuk keberlanjutan bisnis mereka.
Para pakar menilai "owner" kapal saat ini justru menggangap pengadaan upaya keselamatan sebagai "cost" tambahan yang memberatkan, sehingga kejadian serupa kembali terulang.
Oleh karena itu, para pakar berharap KNKT mampu memberi informasi yang benar kepada masyarakat terkait hasil investigasi kecelakaan yang telah terjadi, sehingga KNKT dapat memposisikan diri untuk kepentingan masyarakat.
"IMarEST dan ITS dapat turut andil dalam memecahakan permasalahan keselematan tranasportasi laut di Indonesia itu," katanya.
Pertemuan itu juga dihadiri oleh Dr Malcolm Vincent FIMarEST, selaku President of IMarEST yang berkedudukan di London Inggris, serta Ahmad Murad FIMarEST selaku ketua IMarEST divisi Asia Tenggara. (*)