Ketua Lapasila Usulkan Pendidikan Pancasila Masuk UN
Selasa, 26 Juni 2012 19:38 WIB
Surabaya - Ketua Laboratorium Pancasila (Lapasila) Prof Dr Noor Syam mendukung rencana Kemendikbud memasukkan Pancasila dalam kurikulum, karena itu pihaknya mengusulkan Pendidikan Pancasila masuk salah satu mata pelajaran dalam ujian nasional.
"Pendidikan Pancasila itu sebuah keniscayaan, karena Pancasila itu memang ideologi kita. Kalau tidak kita lestarikan, maka kita akan kehilangan jatidiri," katanya dalam seminar 'Pancasila dan Lunturnya Jatidiri Bangsa' yang digelar Universitas Hang Tuah (UHT) Surabaya, Selasa.
Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Malang (UM) tersebut mengemukakan hal itu menanggapi pernyataan Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud Prof DR Ibnu Hamad terkait rencana Kemendikbud menyiapkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila, baik berdiri sendiri maupun masuk PKN.
"Yang jelas, polanya harus berjenjang, misalnya tingkat SD berkisar sila-sila Pancasila, tingkat SMP berkisar Pancasila dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, tingkat SMA berkisar Pancasila dalam kehidupan bernegara, dan tingkat universitas berkisar komparasi antar-ideologi dunia," katanya.
Menurut dia, Indonesia saat ini telah kehilangan jatidiri sebagai bangsa, karena ideologi Pancasila hanya ada dalam catatan kenegaraan dan buku sejarah, namun praktik politik, ekonomi, dan bahkan moral sudah menerapkan ideologi liberal.
"Kita masih memiliki Pancasila, karena dua 'sayap besar' bangsa yakni NU dan Muhammadiyah menyatakan Pancasila sebagai dasar negara yang final, tapi kita sudah terlanda dan tergoda dengan ideologi lain seperti liberal, kapitalis, komunis, agamis, dan sebagainya," katanya.
Oleh karena itu, Pendidikan Pancasila merupakan hal yang mendesak, karena itu pemerintah harus segera menyiapkan materinya secara terpusat, tapi sebaiknya dimulai melalui lokakarya pada 33 provinsi yang melibatkan para tokoh dan akademisi di tingkat lokal, lalu perumusannya terpusat.
Senada dengan itu, pakar hukum Prof Dr Philipus M Hadjon SH yang juga narasumber dalam seminar itu menegaskan bahwa nilai-nilai Pancasila sudah mulai ditinggalkan, termasuk Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
"Kita cenderung melakukan studi banding dan 'copy paste' aturan hukum dari negara lain, padahal aturan hukum itu sangat mungkin bertentangan dengan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, permusyawaratan, keadilan, dan sebagainya," katanya.
Ia mencontohkan hak asasi manusia (HAM) yang dimasukkan begitu saja dalam amandemen UUD 1945, padahal hak asasi yang diakui dalam Negara Pancasila adalah keseimbangan antara HAM dan KAM (kewajiban asasi manusia).
"Artinya, HAM itu diakui, tapi HAM itu berimbang dengan KAM yakni HAM yang menempatkan Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber kedaulatan, hikmad, dan martabat bangsa. Jadi, HAM harus tetap berkeadilan antara mayoritas dan minoritas, bukan demokrasi yang mementingkan mayoritas, tapi ada mayoritas dan minoritas dalam musyawarah bersama," katanya.
Sementara itu, pakar hukum yang kini menjadi peneliti Balitbang Pemprov Jatim Dr Himawan Estu Bagijo mengakui amandemen UUD 1945 sebenarnya berangkat dari "geregetan" terhadap presiden yang berkuasa cukup lama.
"Namanya juga geregetan, tentu perbaikan atau reformasi dalam hukum yang dilakukan juga asal perbaikan tanpa pikir panjang, karena itu sekarang muncul wacana amandemen kelima untuk perbaikan," katanya. (*)