INSA Surabaya Sesalkan Peminggiran Kapal Oleh OP
Minggu, 29 April 2012 13:39 WIB
Surabaya - Dewan Pengurus Cabang Asosiasi Pelayaran Niaga (INSA) Surabaya menyesalkan langkah Otoritas Pelabuhan (OP) Tanjung Perak yang meminggirkan kapal dari dermaga bongkar muat ketika kegiatan belum selesai sehingga berdampak terhadap biaya tinggi.
"Peminggiran kapal berarti pergerakan kapal. Padahal pergerakan kapal konsekuensinya pada biaya," Kata Sekretaris DPC asosiasi pelayaran niaga nasional (Indonesian Shipowner Association/INSA) Surabaya, Dwi Agus, di Surabaya, Minggu.
OP Pelabuhan Indonesia III Tanjung Perak merupakan institusi perubahan dari Administratur Pelabuhan (Adpel) Tanjung Perak. Perubahan tersebut sebagai tindak lanjut dari pemberlakuan Undang-Undang Pelayaran Nomor 17 Tahun 2008.
Dwi Agus mengatakan, selain biaya pergerakan kapal, demurrage juga membuat biaya di pelabuhan semakin membengkak akibat peminggiran. Demurrage adalah batas waktu pemakaian lapangan kontainer (Container Yard) di pelabuhan mulai kapal bongkar muatan (discharges) sampai ke luar pelabuhan.
Pembengkakan biaya tersebut, menurut dia, pasti akan dibebankan kepada eksportir ataupun importir sebagai pengguna jasa. Dengan demikian, konsumen pula yang akan menanggungnya.
Kepala Kantor OP Pelabuhan Indonesia III Tanjung Perak Surabaya, I Nyoman Gde Saputra dalam Diklat Kepelabuhanan untuk para wartawan di Prigen 27-28 April mengakui OP telah melakukan peminggiran (rede) 37 kapal sejak Mei 2011 hingga saat ini dengan alasan lambat dalam berkegiatan karena tinggkat produktivitasnya rendah.
Kapal yang dipinggirkan tersebut membuat berbagai jenis komoditas di antaranya pupuk, beras dan lainnya.
"Langkah ini untuk menjawab masalah mata rantai logistik yang bisa menimbulkan biaya tinggi. Mata rantai logistik cukup panjang, mulai dari gudang produsen hingga gudang distribusi," katanya beralasan.
Menurut dia, ada beberapa faktor sehingga pihaknya meminggirkan kapal dari dermaga bongkar muat, di antaranya produktivitas bongkar muat yang tidak menggembirakan sehingga pergantian kapal sandar (turn over) juga lambat.
Kelambatan yang disadarinya akan berdampak terhadap biaya tinggi tersebut, ia menilai, bisa jadi karena tidak sinkronnya kegiatan dengan fasilitas yang tersedia.
Dwi Agus meminta pihak OP sebelum mengambil langkah-langkah seperti itu berkoordinasi dulu dengan pihak pelayaran agar bisa diambil langkah terbaik.
"Silakan saja kalau OP menganggap langkah meminggirkan kapal yang dilakukan selama ini sebagai keberhasilan, tapi yang jelas langkah tersebut telah merugikan perusahaan pelayaran," kata Dwi Agus menandaskan.
Jika kelambatan bongkar muat yang dinilai menjadi penyebab, maka kinerja perusahaan bongkar muat yang perlu ditingkatkan. "Apalagi kegiatan bongkar muat sejumlah kapal itu juga mengandalkan tenaga kerja bongkar dari Koperasi TKBM yang hingga kini masih memonopoli," katanya.
Namun, katanya menambahkan, jika alasannya karena belum terintegrasinya lokasi gudang eksportir atau importir, maka perlu dbuatkan zona khusus untuk kegiatan kepelabuhanan, tidak seperti sekarang menyebar di berbagai daerah seperti Rungkut Surabaya, Pasuruan dan lain sebagainya. (*)