Kado Pahit Bagi Honorer di Hari Guru
Minggu, 27 November 2011 12:23 WIB
Oleh Endang Sukarelawati
Malang - Menekuni dunia pendidikan dengan menjadi seorang guru, apalagi setelah ada "embel-embel" Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan bersertifikasi, kini menjadi impian banyak warga, bahkan di wilayah perkotaan.
Beberapa tahun silam, profesi seorang guru hampir tidak pernah dilirik, apalagi oleh generasi muda. Banyak perguruan tinggi bernama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) yang sebelumnya menjadi "kawah candradimuka" bagi seorang pendidik berubah status menjadi universitas karena minim peminat.
Namun, setelah Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid mengubah komposisi sistem penggajian seorang guru, kondisinya berubah drastis dan berbalik 180 derajat karena gaji guru tidak lagi minus seperti tahun-tahun sebelumnya.
Hanya saja, peningkatan kesejahteraan yang dirasakan guru yang berstatus PNS tersebut belum bisa dinikmati rekan seprofesi yang masih berstatus guru tidak tetap (GTT) atau honorer. Kesejahteraan mereka masih jauh dari layak, sebab masih ada GTT yang menerima honor kurang dari Rp200 ribu setiap bulannya.
Apalagi, beberapa hari lalu muncul Surat Edaran (SE) bernomor 088209/A.C5/KP/2011 yang diteken Sekjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Ainun Na'im itu akan menambah "penderitaan" para guru honorer (GTT).
"Kami yang masih honorer ini kan menjadi khawatir dan tidak tenang, meski SK kami yang menandatangani adalah yayasan. Tapi, sampai saat ini kami kan belum mendapatkan kesempatan untuk diangkat menjadi PNS maupun mengikuti sertifikasi," kata salah seorang GTT di salah satu SMA Negeri di Kota Malang, Wahyuni.
Ia mengaku kecewa karena belum sempat menikmati kesejahteraan sebagai seorang pendidik sudah muncul ultimatum yang dituangkan dalam SE tersebut.
"Meski kami belum bisa diangkat menjadi PNS, paling tidak kami diberi kesempatan untuk menikmati sertifikasi dan tunjang profesi pendidik (TPP)," tegasnya.
Dalam SE itu salah satu klausalnya disebutkan bahwa GTT atau guru honorer di sekolah negeri dan swasta yang SK pengangkatannya bukan oleh pejabat berwenang dan gajinya bukan dari APBN atau APBD, maka tunjangan profesi pendidik (TPP)-nya bakal distop.
Ketua Forum GTT Malang Raya Tresna Widiana menilai bahwa SE yang dikeluarkan Kemendikbud itu sama saja tidak menghargai keberadaan GTT, meski sebenarnya keberadaannya sangat dibutuhkan, baik di sekolah negeri maupun swasta.
"Pemahaman kami, SE tersebut sebagai sesuatu yang kontradiktif, sebab bagaimana mungkin GTT yang mengajar di sekolah negeri harus mendapatkan SK dari yayasan yang menjadi salah satu syarat untuk bisa mengikuti sertifikasi," tegasnya.
Sebenarnya, kata Tresna, logika berpikirnya cukup sederhana dalam menyikapi SE Sekjen Kemendikbud tersebut, yakni Dikbud sebagai penyelenggara sekolah negeri dan yayasan yang memiliki tanggung jawab terhadap penyelenggaraan sekolah swasta.
Kalau mengacu pada SE Sekjen Kemendikbud, katanya, guru honorer (kategori II) tidak mengantongi SK yayasan dan lolos sertifikasi, maka TPP-nya tidak dibayarkan, bahkan yang sudah menerima diancam untuk mengembalikannya.
Kondisi ini, tegasnya, harus disikapi secara serius. "Kami akan kembali mengajak Dikbud untuk duduk bersama, sebab dalam masalah ini Dikbud memiliki peran penting dan strategis," ujarnya.
Meski SE Sekjen Kemendikbud tersebut menjadi sebuah ancaman bagi GTT kategori II, lanjutnya, pihaknya akan terus berjuang untuk mendapatkan kuota bagi GTT agar bisa mengikuti sertifikasi.
Ia mengakui, jika jalan dan perjuangan yang ditempuh itu tidaklah mudah. Namun, dirinya bersama anggota forum GTT lainnya akan tetap menjalankan misi, sebab ia yakin suatu saat pemerintah pasti sadar akan keberadaan GTT.
Selama ini kuota GTT dalam mengikuti program seleksi sertifikasi tidak lebih dari 20 persen, sedangkan 80 persennya tetap untuk kuota guru yang berstatus PNS. Padahal, faktanya kewajiban dan tanggung jawab GTT dengan guru PNS hampir sama, bahkan bisa dibilang lebih berat.
"Kewajiban, tanggung jawab dan jam mengajar kami hampir sama, tapi kalau sudah menyangkut kesejahteraan, sangat jauh bedanya. Apalagi, TPP kami juga terancam dihentikan," tegasnya.
Anggota tim pembuat soal pra pendidikan latihan profesi guru (PLPG) Universitas Negeri Malang (UM) Prof Wahyudi Siswanto menyatakan, pemerintah (Diknas) hendaknya tidak menutup telinga terhadap apa yang dikeluhkan oleh GTT, apalagi keberdaan GTT tersebut masih sangat dibutuhkan untuk mengatasi kekurangan guru.
Menurut dia, surat edaran Sekjen Kemendikbud tersebut harus ditelaah lagi, pemerintah juga harus fair. Sesuaikan kondisi jika ingin mempertimbangkan asas keadilan.
"Diknas harus bertindak dan mencari solusi yang adil, jangan hanya berlindung pada aturan-aturan formalitas semata," tegasnya.
Ia mengakui, saat ini pemerintah memang sedang melakukan pembenahan terhadap aturan dan mekanisme baru dalam penyelenggaraan sertifikasi guru. Di antaranya dengan mengubah nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan (NUPTK) dan adanya tes pra PLPG.
Menanggapi keluhan Forum GTT tersebut, Kepala Bidang Fungsional Kependidikan Diknas Kota Malang Supriyadi mengatakan, semua aturan yang berkaitan dengan sertifikasi diatur oleh pemerintah pusat, sehingga Diknas di daerah hanya menjalankan aturan tersebut.
Tetap Diburu
Berbeda dengan beberapa tahun silam, kini profesi menjadi seorang pendidik terus diburu, meski sebenarnya setelah lulus dari IKIP atau FKIP di universitas tidak secara otomatis diangkat menjadi seorang PNS.
"Setelah lulus memang tidak serta merta diangkat menjadi PNS, kecuali kalau memang rezeki. Tapi, harapan itu setidaknya ada, walaupun harus merintis karir dari seorang honorer," kata salah seorang mahasiswa FKIP Jurusan Bahasa Inggris Universitas Islam Malang (Unisma), Mariyani.
Ia mengakui, menjadi seorang guru, apalagi di desa masih sangat dihormati dan menjadi pekerjaan mulia, sehingga banyak orang tua yang menginginkan anak-anaknya menjadi guru atau bidan.
Apalagi, lanjutnya, jika sudah diangkat menjadi PNS, tingkat kesejahteraan seorang guru sekarang jauh lebih baik dibanding dengan beberapa tahun silam.
Sekarang, lanjutnya, gaji guru cukup besar dan masih ditambah dengan TPP dan tunjangan sertifikasi. Hanya saja, tingkat kesejahteraan yang cukup memadai itu kadang-kadang tidak diimbangi dengan kualitas mengajar guru yang bersangkutan.
Bahkan, tegasnya, tidak sedikit yang justru memanfaatkan peningkatan kesejahteraan itu untuk hal-hal yang "menodai" profesi seorang pendidik, selingkuh misalnya. "Ini yang memang harus dibenahi secara serius," tegas Mariyani.
Rektor IKIP BUdi Utomo Nurcholis Sunuyeko mengakui, dalam beberapa tahun terakhir ini jumlah mahasiswa yang menekuni dunia pendidikan terus meningkat.
"Beberapa tahun lalu jumlah mahasiswa memang sempat menurun drastis, namun kami tetap bertahan dan kami yakin pasti profesi guru akan menjadi favorit," ujarnya.
Ia tidak mengingkari jika peminat generasi muda untuk menjadi seorang pendidik yang terus meningkat itu salah satunya adalah adanya sertifikasi guru, dimana tunjangan sertifikasi tersebut juga lumayan besar.
Hanya saja, katanya, proses sertifikasi tersebut harus dilakukan dengan cara yang benar, tidak memanipulasi jam mengajar serta memenuhi syarat yang ditetapkan.
Nurcholis juga mengakui, kesejahteraan guru yang berstatus PNS tersebut belum menular pada guru yang masih berstatus GTT atau honorer. Namun, diyakininya secara bertahap kesejahteraan guru termasuk yang masih berstatus honorer, ke depan pasti akan lebih baik.
"Kalaupun saat ini tingkat kesejahteraan guru honorer belum seperti yang diharapkan, bahkan TPP-nya terancam distop, saya yakin ke depan pasti akan lebih baik dan SE yang dikeluarkan Sekjen Kemendikbud itu juga sebagai upaya untuk perbaikan," tegasnya. (*)