Terpilihnya Prof Djohar Arifin Husin sebagai ketua umum PSSI pada kongres luar biasa di Solo, awal Juli 2011, sebenarnya memunculkan harapan tinggi bagi insan bola di Tanah Air. Di tengah kebencian dan kemurkaan sebagian besar masyarakat peduli sepak bola Indonesia terhadap kepemimpinan Nurdin Halid serta kroninya, kehadiran Djohar Arifin diharapkan bisa membawa perubahan yang lebih baik, terutama dari segi prestasi. Selama dua periode PSSI dipimpin Nurdin Halid, tidak ada prestasi besar yang bisa dibanggakan dari tim "Merah Putih". Saat menjadi tuan rumah Piala Asia 2009, Timnas juga hanya mampu bersaing sampai babak kedua. Harapan meraih juara sebenarnya sempat muncul di Turnamen Piala AFF 2011, tetapi Malaysia menjegal ambisi Indonesia di partai final. Kegagalan demi kegagalan, ditambah dugaan korupsi dan suap yang menimpa kepengurusan Nurdin Halid, membuat insan bola berteriak dan menginginkan perubahan. Hingga kemudian digelarnya kongres luar biasa yang memilih Djohar Arifin sebagai ketua baru PSSI, setelah kongres pertama "deadlock" dan dibubarkan Ketua Komite Normalisasi PSSI Agum Gumelar. Namun, semenjak Djohar Arifin terpilih pada Juli 2011, tanda-tanda perbaikan di tubuh PSSI yang sebelumnya diharapkan masyarakat, tidak kunjung kelihatan. Kubu Djohar Arifin dengan kendali tokoh bayangan di belakangnya Arifin Panigoro, justru sibuk dengan agendanya sendiri, yakni "bersih-bersih". Semua urusan yang berbau NH dan NB (Nirwan Bakrie), mereka pangkas habis tanpa pandang bulu. Klub-klub Liga Primer Indonesia (LPI) yang tidak diakui kepengurusan PSSI sebelumnya, langsung dirangkul untuk mengikuti kompetisi, meskipun melalui mekanisme merger dengan klub yang legal. Pengurus PSSI lama didepak dan diganti orang-orang baru yang berjasa saat kongres. Sikap Djohar Arifin dan pendukungnya yang kelewat batas dalam mengambil kebijakan dan cenderung menabrak aturan (statuta PSSI), justru menimbulkan gejolak baru di internal PSSI, terutama anggota Komite Eksekutif. Ancaman KLB (kongres luar biasa) kembali membayangi kepengurusan PSSI yang baru seumur jagung itu. Terakhir, PSSI di bawah kendali Djohar Arifin diprotes habis-habisan oleh sebagian klub peserta kompetisi level 1, karena dinilai "semau gue" dan tidak mengindahkan aturan yang ada. PT Liga Indonesia yang seharusnya masih sah sebagai pengelola liga, diberedel dan diganti secara sepihak oleh PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS), perusahaan baru bentukan PSSI Djohar. Tidak hanya itu, pengurus PSSI juga menghentikan secara sepihak kontrak hak siar yang dimiliki ANTV dan menjalin kerja sama baru dengan MNC Group. Seperti halnya PT Liga Indonesia, ANTV ikut terkena imbas keganasan PSSI karena juga berbau rezim lama. Sebelumnya, penetapan kompetisi yang diikuti 24 klub juga menuai banyak protes, karena PSSI memberi "tiket gratis" kepada enam klub yang semestinya tidak termasuk dalam 18 klub Liga Super. Belum lagi penyusunan draf jadwal kompetisi yang amburadul dan memancing emosi semua klub. Ketika masalah regulasi belum beres, pemain dan pelatih belum diverifikasi, serta jadwal yang masih amburadul ditambah terpecahnya dua kubu peserta kompetisi, PSSI lagi-lagi mengambil langkah berani dengan meresmikan dimulainya Liga Primer Indonesia 2011/2012 di Bandung, Sabtu (15/10). Dengan kondisi internal PSSI yang amburadul dan masih dipenuhi amarah serta dendam terhadap rezim lama, agaknya sulit mengharapkan kepemimpinan Djohar Arifin dan sekutu barunya bisa membenahi prestasi sepak bola nasional. Bukan tidak mungkin, ancaman KLB untuk menggusur Djohar makin bertiup kencang, kalau sebagian pengurus PSSI sekarnag tetap saja keras kepala dan menabrak aturan. (*)
PSSI Menunggu "Bom Waktu"
Minggu, 16 Oktober 2011 22:29 WIB