Ghadafi, Qadhafy, Kadhafy, Khadafi atau apalah namanya, pasti tak pernah belajar dari sejarah tentang pemimpin gagal berbasis diktator sebelum ini. Kejatuhan rezim Marcos di Filipina dan Soeharto di Indonesia atau bahkan sesama pemimpin negara di Afrika, Hosni Mubarak, di Mesir, seperti enggan ia jadikan contoh. Memang, di saat "peak performance"-nya sebagai pemimpin Libya belasan tahun lalu, Kadafi (kita pilih nama yang mudah ditulis), bersama pemimpin Palestina Yasser Arafat, pernah diidolakan oleh warga Muslim di seluruh dunia sebagai lambang perlawanan terhadap hegemoni Amerika Serikat dan negara bonekanya, Israel. Namun, seperti lazimnya pemimpin yang sengaja berlama-lama berkuasa, bukan lagi perjuangan mengangkat senjata yang dia citrakan, melainkan telah berbelok arah dengan menumpuk kekayaan yang dia kerjakan dengan dalih untuk biaya perjuangan. Rakyat Libya tentu tidak bodoh. Melihat pemimpin mereka yang kian hari menghimpun harta yang sebagian dibelanjakan untuk membeli klub sepakbola di Eropa dan itu perlu dana besar, memilih menjadi pemberontak untuk melawan sang pemimpin yang mereka anggap sebagai penindas, dengan dasar kesejahteraan rakyat yang belum cukup terpenuhi. Kadafi dan keluarganya pun diburu dan hingga awal pekan ini belum jelas keberadaannya. Sebagai umat Muslim, tentu ia akan merasakan kerugian besar dengan tidak bisa merayakan Hari Raya Idul Fitri 1432 Hijriah dengan tenang, tanpa terusik oleh desingan peluru. Kita tinggalkan dulu Kadafi yang sedang berikhtiar melepaskan diri dari kepungan rakyat yang telanjur antipati terhadapnya. Sebagian besar rakyat Indonesia, seperti juga warga Muslim di negara lain, mulai akhir pekan lalu telah mengawali tradisi mudik dalam rangkaian menyambut Hari Raya 1 Syawal 1432 Hijriah. Mereka bukan semata membudayakan tradisi "sowan" kepada sesama umat Islam, tapi juga melaksanakan perintah agama yakni wajib bersilaturahmi. Karena hukumnya wajib, seperti yang didengung-dengungkan para pemuka agama melalui pesan di berbagai media, maka umat pun takut menanggung dosa bila tidak menjalankan silaturahmi. Seolah mafhum dengan keinginan rakyatnya, Pemerintah pun memberikan toleransi dengan kebijakan cuti bersama selama sepekan penuh guna memberikan kesempatan kepada umat Muslim untuk saling mengunjungi. Tidak itu saja, pemerintah melalui pejabat kementerian, BUMN, partai politik, pemerintah provinsi dan kesadaran pihak pengusaha swasta, menyediakan fasilitas angkutan mudik gratis, via perjalanan darat. Bahkan lewat perjalanan laut yang difasilitasi oleh TNI-AL, kapal itu pun diserbu para pemudik. Bagi mereka yang tidak tersentuh fasilitas tersebut dan jauh hari sudah punya rencana sendiri, tetap mudik dengan menggunakan kendaraan pribadi atau sewa, bisa sepeda motor, mobil, bahkan terdapat rombongan pengemudi Bajaj dari Jakarta menuju daerah asal para sopir angkutan itu di beberapa kota di Jawa Tengah. Tradisi mudik sebenarnya adalah pesta rakyat. Bukan saja monopoli kaum Muslim, tapi mereka yang tidak se-iman pun turut bersuka-cita merayakannya. Semua larut dalam keceriaan di hari nan fitri ini. Untuk sementara, bincang-bincang perihal korupsi yang merebak di hampir semua lembaga pemerintah, persoalan politik, termasuk polemik tentang perbedaan penetapan Hari Raya Idul Fitri tahun ini, kita jauhi dulu karena ada yang lebih bermakna dari semua itu. Kadafi memang tidak seberuntung rakyat Indonesia maupun umat Islam lainnya di dunia yang bisa bebas merayakan Idul Fitri. Terbukti, kebebasan lebih berharga daripada timbunan harta yang malah sering membawa petaka. Selamat Berlebaran!
Kadafi dan Mudik
Senin, 29 Agustus 2011 11:56 WIB