Rekrutmen Preman Untuk "Debt Collactor" Marak Lagi
Kamis, 18 Agustus 2011 12:23 WIB
Jakarta - Dua praktisi hukum di Jakarta, Henry Dharma dan Octa Rasubala mengkhawatirkan maraknya lagi proses rekrutmen preman untuk menjalankan tugas-tugas sebagai "debt collector", baik untuk kepentingan sektor perbankan maupun perusahaan kredit.
"Kami minta penegasan dari pihak Bank Indonesia yang telah pernah mengeluarkan aturan untuk memperketat penggunaan tenaga 'debt collector' dari lingkup 'outsourching', karena banyak kekisruhan sudah ditimbulkannya, sebagaimana kasus Citi Bank," ujar Henry Dharma di Jakarta, Kamis.
Praktisi hukum muda ini mengaku, ia telah memperoleh informasi "A-1" (valid) tentang proses rekrutmen besar-besaran para preman untuk menjalankan beragam aksi.
"Baik untuk kepentingan perbankan, juga kini dikhawatirkan akan dimanfaatkan pada urusan-urusan lainnya terkait proses hukum yang mandeg di lembaga penegakan hukum formal," ucapnya.
Henry Dharma mensinyalir, beberapa pimpinan geng kini telah dimobilisasi untuk kepentingan rekrutman besar-besaran para preman, baik untuk tugas-tugas "debt collector" maupun urusan hukum lainnya, termasuk masalah pertanahan, properti, bahkan kasus-kasus di pengadilan.
Skenario Perkeruh Situasi
Secara terpisah, Octa Rasubala menyatakan, jika rekrutmen preman untuk berbagai maksud tersebut tak dihentikan, pasti sangat berbahaya, karena berpotensi memicu keresahan serta kerusuhan antargeng.
"Yang dikhawatirkan, ini juga merupakan salah satu skenario untuk memperkeruh suasana di tengah situasi kemelut penegakan hukum, terutama dalam kaitan proses penyelesaian sejumlah kasus tindak pidana korupsi," ujarnya.
Octa menunjuk beberapa kejadian terkini menyangkut perseteruan antargeng, misalnya saja di salah satu kawasan di Slipi, Jakarta Barat, yang mengakibatkan tewasnya sembilan korban.
"Dan diduga, beberapa preman disusupkan kini untuk memprovokasi aksi kerusuhan antarkampung di sejumlah kota besar, utamanya Jakarta dan sekitarnya. Hal ini perlu segera diambil tindakan tegas, jika memang Pemerintah inginkan rakyat aman," tegasnya.
Sementara itu, beberapa pelaku bisnis dan aktivis LSM juga menyuarakan keprihatinan yang sama dengan informasi maraknya lagi perekrutan para preman untuk "debt collector" maupun aksi kekerasan lainnya.
"Kalau memang Pemerintah mau menegakkan hukum dan keadilan, gunakan aparat yang sah dan yang bisa dipertanggungjawabkan keprofesionalitasannya, bukan merekrut preman yang sering menimbulkan keresahan di masyarakat," kata seorang aktivis LSM, Boy Zulkarnaen.
Hal senada juga diutarakan Yantono, seorang pelaku bisnis "trading" yang belakangan mendapat keluhan rekan-rekan bisnisnya, karena semakin sering mendapat tekanan ("pressure") para preman atasnama banyak pihak.
"Yang kami tidak habis pikir, mereka dengan beraninya pake ancam-mengancam, bahkan sepertinya tak takut lagi dengan aparat hukum formal," ungkapnya.
Ia lalu menduga, para preman itu digunakan oleh institusi atau kelompok, bahkan individu yang tergolong "orang kuat". Terutama untuk kepentingan pribadi, dan bukan dalam kaitan penegakkan hukum yang sebenarnya.
"Perilaku seperti ini menurut kami harus segera dihentikan, karena kalau tidak, Indonesia akan menjadi 'negara mafia' sebenar-benarnya," pungkas Yantono.