Surabaya (ANTARA) - Pakar Budaya Universitas Airlangga Surabaya, Puji Karyanto S.S., M.Hum., menyebut Malaysia yang ingin mengajukan kebudayaan Reog Ponorogo ke UNESCO sebagai warisan budaya tak benda merupakan sebuah refleksi bagi bangsa agar tidak abai dengan budaya.
"Kita sebenarnya sudah cukup sering belajar terkait hal-hal seperti ini. Tentu saja, ketika ada hal seperti ini, ini sekaligus menjadi sarana refleksi bagi kita kenapa sampai ada negara lain yang ingin mendaftarkan salah satu warisan budaya tak benda kita ke UNESCO. Jangan-jangan warisan tak benda ini memang lebih hidup di mereka, daripada di kita," katanya melalui keterangan, Senin.
Menurut Dosen Pengantar Ilmu Budaya Unair itu, satuan kebudayaan tidak sama dengan satuan politik. Artinya, secara kebudayaan, kesenian tradisi umumnya dianggap milik komunal, bukan milik perorangan.
Namun, sambungnya, hal itu berkaitan dengan pola pikir zaman sekarang. Terdapat 'klaim' yang mengharuskan Indonesia mendaftarkan kebudayaannya ke UNESCO agar tidak selanjutnya hilang dan diambil alih oleh pihak lain.
"Sebuah keniscayaan bahwa kebudayaan Reog berkembang pula di Malaysia, mengingat Indonesia dan Malaysia berada di satu ikatan kebudayaan yang sama, yaitu budaya Melayu," katanya.
Agar hal seperti itu tidak terjadi lagi, Puji menerangkan ada beberapa langkah yang dapat dilakukan. Pertama, anak muda zaman sekarang harus merasa memiliki budaya tradisi.
Tentu dengan catatan, lanjutnya, para pelaku kebudayaan juga harus beradaptasi dengan zaman, menjadikan budaya tradisi menarik bagi anak muda sekarang.
"Hidupkan semua warisan budaya masa lampau yang memang bisa diadaptasikan, cocok dengan kondisi saat ini," ujarnya.
Puji juga menambahkan bahwa pemerintah pun memiliki andil dalam hal ini, dengan melakukan perlindungan legal terkait dengan warisan kebudayaan tak benda. Sehingga tidak dapat diklaim oleh pihak lain.(*)
Pakar Unair: Klaim Malaysia terhadap Reog Ponorogo adalah refleksi bagi Indonesia
Senin, 11 April 2022 11:25 WIB
Jangan-jangan warisan tak benda ini memang lebih hidup di mereka, daripada di kita