Jember (ANTARA) - Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslit Koka) Indonesia mendorong pemulihan ekonomi melalui hilirisasi kopi dan kakao dengan menggelar webinar bertema "Pemulihan Ekonomi Masyarakat melalui Hilirisasi Kopi dan Kakao" secara daring dari Pendapa Wahyawibawagraha, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Kamis (15/7).
"Kopi dan kakao merupakan komoditas berbasis kerakyatan sehingga diharapkan melalui webinar itu dapat memberikan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat Jember," kata Kepala Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Dr. Agung Wahyu Susilo di Jember.
Menurut dia, tren konsumsi kopi cukup meningkat dalam waktu satu dekade terakhir dengan rata-rata naik 8—10 persen per tahun. Adapun secara nasional per kapita atau per orang itu mengonsumsi 1,3 kilogram kopi per tahun.
"Data itu menjadi peluang ekonomi kerakyatan untuk dimanfaatkan dalam meningkatkan kesejahteraan warga setempat, apalagi Kabupaten Jember termasuk daerah penghasil kopi terbaik di Indonesia," tuturnya.
Sementara itu, Bupati Jember Hendy Siswanto mengatakan bahwa daerah ini dengan topografinya yang beragam mulai dataran rendah hingga dataran tinggi sehingga memiliki potensi untuk ditanami bermacam jenis tanaman pangan dan hortikultura maupun perkebunan, termasuk di antaranya kopi dan kakao.
"Sebagai negara penghasil kopi terbesar ketiga dunia setelah Brasil dan Vietnam, Indonesia mampu memproduksi sedikitnya 768.000 ton atau 6,6 persen dari produksi kopi dunia pada tahun 2012," katanya.
Dari data tersebut, lanjut dia, tercatat kopi robusta mencapai lebih dari 601.000 ton dan produksi kopi arabika mencapai lebih dari 147.000 ton.
"Berdasarkan data tahun 2020, Kabupaten Jember memiliki luas area tanaman kopi mencapai 4.658 hektare dengan produksi 2.369 ton dan produkstivitas mencapai 11.859 kg/hektare," tuturnya.
Ia menyebutkan ada beberapa permasalahan dalam perkembangan ekonomi kopi di Jember, yaitu produksi kopi dihadapkan dengan rendahnya pengetahuan petani dalam budi daya kopi yang baik, sekaligus proses panen dan pascapanen juga belum mengacu pada good manufacturing practice sehingga belum bisa memberikan jaminan kualitas dan kuantitas yang berkelanjutan.
"Tingginya permintaan kopi untuk kafe-kafe diharapkan berbanding lurus dengan permintaan biji kopi kepada petani lokal. Untuk itu, kami mendorong para pemilik kafe bersinergi dengan petani lokal," katanya.
Hendy juga akan mendorong agar petani lokal tidak lagi menjual langsung biji kopi, tetapi sudah memiliki nilai tambah berupa produk kopi kemasan dengan harga yang lebih tinggi.
"Itu menjadi pekerjaan rumah bagi kami, tentunya dibantu oleh Puslitkoka untuk peningkatan kemampuan para petani dalam mengolah atau menambah nilai kopi yang diproduksi petani lokal," ujarnya.