Jakarta (ANTARA) - Perayaan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW tahun ini diselimuti duka dan luka. Samuel Paty, seorang guru sejarah dan geografi di Prancis dipenggal muridnya setelah menunjukkan kartun Nabi Muhammad di sebuah media di depan kelas.
Media tersebut adalah surat kabar satir Charlie Hebdo yang kembali merilis kartun Nabi Muhammad SAW, setelah pada 2015 melakukan hal serupa.
Kita umat Islam tentu terluka dan berduka karena dalam tradisi Islam, Nabi Muhammad, tidak dapat digambarkan atau dilukiskan, apalagi dalam bentuk kartun, seperti yang diterbitkan surat kabar Charlie Hebdo.
Umat Islam diharamkan (dilarang, red) memvisualisasikan sosok Nabi Muhammad dengan cara apapun. Sebagai gantinya, umat Islam menggunakan lafadz atau kata "Muhammad" () saja untuk menunjukkan sosok Nabi Muhammad.
Lafadz itu menjadi simbol pengganti sosok Muhammad dalam buku, komik, atau film yang berkisah tentang Nabi Muhammad. Seringkali lafadz itu—dalam beberapa komik atau film— juga diganti berupa sinar yang menyimbolkan Muhammad sebagai pemberi sinar pada umat manusia dan alam semesta.
Terdapat tiga alasan umat Islam dilarang memvisualkan sosok Nabi Muhammad.
Pertama, dikhawatirkan muncul pengultusan dan pemujaan terhadap Nabi Muhammad.
Kedua, visualisasi dikhawatirkan tidak mampu menggambarkan pribadi dan figur Nabi Muhammad yang sesungguhnya.
Ketiga, visualisasi dikhawatirkan menyeret pada pelecehan sosok Nabi.
Persoalannya adalah bagaimana bila yang memvisualisasikan Nabi Muhammad adalah bukan orang Islam? Tentu sulit menjelaskan pada orang non-Muslim mengapa memvisualkan Nabi Muhammad dilarang.
Terlebih, mereka melihat banyak nabi dan orang suci lain, seperti Yesus, Musa, Budha, Krisna, dapat divisualkan, bahkan dalam bentuk kartun, tanpa kemarahan global dari komunitas Kristen, Yahudi, Budha, dan Hindu.
Sebetulnya banyak juga anak-anak Islam yang juga baru memahami pelarangan visualisasi Nabi Muhammad saat dewasa setelah belajar bertahun-tahun.
Pada konteks ini barangkali ketidakpahaman itulah yang menyebabkan Presiden Prancis Emmanuel Macron, membuat pernyataan yang seolah kurang sensitif terhadap Islam.
Demikian pula rakyat Prancis yang kembali menampilkan gambar Nabi Muhammad bersama Yesus dan Musa dengan sebuah proyektor di dinding gedung tinggi sebagai wujud simpati pada kematian Samuel Paty. Ketidaktahuan mereka atas prinsip yang diyakini oleh umat Islam membuat mereka berlaku demikian.
Bila benar yang mereka lakukan karena ketidaktahuan, maka tentu hukum tidak berlaku pada siapapun yang tidak paham. Kita tidak boleh gegabah membalas sikap mereka yang boleh jadi malah semakin memperkeruh keadaan, terutama bagi Muslim minoritas yang tinggal di Prancis.
Umat Islam minoritas di Prancis tentu yang paling berada dalam kondisi sulit bila keadaan ini terus berlanjut sehingga respons berlebihan umat Islam di dunia harus dihentikan.
Paling tidak umat Islam di dunia harus adil merespons kasus-kasus seperti ini yang seringkali terjadi berulangkali.
Pertama, kita harus memberi tahu bahwa segala macam tindakan visualisasi Nabi Muhammad dianggap melecehkan Islam. Demikian pula kita harus memberi tahu bahwa pernyataan Emmanuel Macron yang menyebut umat Islam sedang mengalami krisis juga dapat dianggap melecehkan Islam.
Sebaliknya, kedua, kita juga harus mengecam tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh pemuda berusia 18 tahun itu tehadap Samuel Paty.
Baik guru yang terbunuh maupun sang pembunuh yang masih bocah, sejatinya adalah korban. Mereka berdua adalah korban ketidaktahuannya masing-masing. Paty tidak benar-benar paham mengapa Islam melarang visualisasi Nabi Muhammad dengan dalih apapun, termasuk dalih kebebasan berekspresi.
Demikian pula sang bocah belum paham dan tuntas mempelajari Islam, bahwa pembelaan terhadap agama tidak boleh dengan melakukan pembunuhan karena melanggar prinsip kemanusiaan yang akan berdampak buruk.
Respons berupa tindakan kekerasan terhadap pelecehan agama hanya akan memperkeruh keadaan yang dampaknya lebih besar dari pelecehan itu sendiri. Tindak kekerasan, termasuk pembunuhan akan semakin memperburuk image Islam di mata orang-orang yang tidak mengerti.
Pembelaan umat Islam kepada Tuhan, agama, dan nabi tidak boleh menggunakan cara-cara yang anarkis yang bersifat dehumanisasi karena hanya akan dijadikan bukti oleh mereka yang tidak mengerti bahwa tindakan itu dibenarkan oleh Islam.
Memang sabar bukanlah persoalan mudah, terutama ketika yang dilecehkan adalah sosok yang kita hormati.
Namun, kita harus berkaca pada kasus pelecehan terhadap umat Islam yang dilakukan oleh Arnoud Van Doorn, politisi Belanda anti-Islam, yang menyebarkan film “Fitna” beberapa tahun yang lalu.
Tidak disangka setelah mempelajari Islam Arnourd akhirnya memeluk Islam. Jejaknya bahkan kemudian diikuti oleh puteranya Iskander Amien De Vrie yang juga memeluk Islam.
Boleh jadi beragam citra buruk Islam di mata sebagian besar orang yang tidak tahu adalah karena ada andil kesalahan kita sendiri.
Kesalahan kita karena tidak mampu memperkenalkan Islam secara baik. Bukan tidak mungkin kelak Macron atau keturunannya ternyata dapat memeluk Islam apabila kita mampu merespons ketidakpahaman mereka dengan baik.
Lantaran itu pada perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW tahun ini ada baiknya kita ekspresikan duka dan luka kita akibat tragedi kartun nabi dan pembunuhan Samuel Paty dengan hanya bershalawat: shalallaahu alaihi wasallama yang maknanya "semoga Allah memberi berkah kebaikan kepada Nabi Muhammad dan memberi keselamatan."
Dengan shalawat itu mari kita berkeyakinan ketika Allah telah memberi berkah kebaikan kepada Muhammad, maka tidak ada satu makluk pun di muka bumi dan alam semesta ini yang mampu melecehkan nabi tercinta. Selamat Maulid Nabi: shalallaahu alaihi wasallama.
*) Destika Cahyana adalah Pengurus DPP Generasi Muda Mathla’ul Anwar
Maulid Nabi, Macron, dan Shalawat
Kamis, 29 Oktober 2020 11:59 WIB