Jember (Antaranews Jatim) - Kabupaten Jember merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang memiliki peta rawan bencana alam karena secara geografis dikelilingi pegunungan yang memanjang batas barat dan timur seperti Pegunungan Argopuro dan Gunung Raung.
Pemerintah Kabupaten Jember juga menetapkan status siaga bencana alam melalui Keputusan Bupati Jember Nomor 800/2299/416/2017 tanggal 1 November 2017 tentang Penetapan Status Siaga Darurat Bencana Banjir, Banjir Bandang, Tanah Longsor dan Puting Beliung.
Penetapan status tersebut ditindaklanjuti dengan pendirian posko siaga darurat bencana oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jember di Kantor BPBD setempat yang bertujuan agar semua bidang memiliki kesiapsiagaan dalam penanggulangan bencana yang mungkin terjadi di wilayah Kabupaten Jember.
Bahkan BPBD Jember juga menerima peringatan dini peta gerakan tanah longsor dari Kementerian ESDM yang menyebutkan sejumlah wilayah di Jember berpotensi longsor di antaranya lereng selatan Gunung Argopuro dan lereng Gunung Raung baik skala menengah maupun tinggi.
Berdasarkan data BPBD Jember, tercatat bencana alam sepanjang 2017 sebanyak 131 kejadian yang mengakibatkan 23 korban mengalami luka-luka dan tiga korban meninggal dunia selama setahun terakhir.
Rincian bencana tersebut yakni 49 kali angin puting beliung, 33 kali tanah longsor, 20 kali banjir genangan, 19 kali kebakaran pemukiman, delapan kali gempa bumi, dan dua kali kebakaran hutan dan lahan yang berdampak pada ratusan rumah warga yang mengalami kerusakan kategori ringan, sedang, hingga berat.
Pelaksana tugas Kepala BPBD Jember Widi Prasetyo mengatakan bencana banjir dan tanah longsor hampir terjadi setiap pekan selama Januari hingga pertengahan Februari 2018 karena tingginya intensitas curah hujan di Kabupaten Jember.
Bahkan bencana alam berupa banjir dan tanah longsor bisa menerjang lebih dari lima lokasi dalam sehari, sehingga kadang-kadang hal tersebut menjadi kendala dalam penanganan bencana alam karena keterbatasan personel dan sarana.
Menurut Widi, BPBD Jember akan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana alam yang ada karena hingga kini masih sedikit desa tangguh bencana yang terbentuk, padahal potensi bencana alam di Jember cukup besar.
Penyuluhan dan pendidikan kepada masyarakat untuk siaga dan tanggap bencana selalu dilakukan di sejumlah desa yang berpotensi dilanda bencana alam seperti banjir dan tanah longsor karena masih sedikit warga yang mengetahui dengan benar apa yang harus dilakukan saat terjadi bencana dan menjaga kelestarian lingkungan.
"Ke depan, seharusnya prioritas program sebelum bencana datang menjadi perhatian Pemerintah Kabupaten Jember, agar masyarakat sadar tentang pentingnya menjaga ekosistem lingkungan, sehingga terhindar dari bencana alam," katanya.
Sementara Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Jember Heru Widagdo mengatakan bencana banjir dan longsor menerjang sejumlah kecamatan di Kabupaten Jember sejak Januari hingga pertengahan Februari 2018, namun tidak ada korban jiwa dalam kejadian bencana alam tersebut.
Pihak BPBD Jember berusaha mengurangi atau meminimalisasikan korban jiwa, lanjut dia, dengan mengevakuasi warga yang berada di lokasi yang memiliki ancaman potensi longsor dan banjir bandang cukup tinggi seperti di Kecamatan Sumberbaru, Jelbuk, dan Arjasa.
Pada 1 Februari 2018, tercatat banjir menggenangi 23 desa yang tersebar di 11 kecamatan di Kabupaten Jember yang menyebabkan 2.741 rumah warga tergenang banjir dan sejumlah fasilitas umum seperti jembatan dan plengsengan rusak berat.
Selain merendam ribuan rumah, lanjut dia, banjir yang terjadi tersebut menggenangi delapan sekolah, dua pondok pesantren, sembilan fasilitas ibadah seperti masjid/mushala dan merusak tiga jembatan hingga tidak bisa dilalui lagi oleh masyarakat setempat.
Sedangkan sejumlah lokasi yang diterjang bencana longsor pada awal Januari 2018 yakni di Desa Mulyorejo, Kecamatan Silo yang mengakibatkan putusnya akses jalan satu-satunya warga desa setempat karena badan jalan tertimbun longsor.
Selain itu, bencana longsor terjadi di Desa Darsono-Kecamatan Arjasa sebanyak dua titik longsor, dan satu titik longsor di Kelurahan Bintoro-Kecamatan Patrang, serta di Desa Ajung-Kecamatan Kalisat.
Jalan menuju kawasan objek wisata Puncak Rembangan yang berada di Desa Kemuning Lor, Kecamatan Arjasa juga diterjang longsor yang mengakibatkan saluran irigasi tertimbun longsor sehingga sejumlah rumah warga berpotensi terkena longsor.
Berdasarkan data BPBD Jember, beberapa kecamatan yang rawan banjir berada di daerah aliran sungai (DAS) Tanggul dan Kali Mayang di antaranya Kecamatan Semboro, Tanggul, Tempurejo, Wuluhan, Balung, Sumberbaru, Jenggawah, dan Kencong.
Sementara kecamatan yang rawan tanah longsor berada di lereng Pegunungan Hyang Argopuro yang meliputi Kecamatan Jelbuk, Arjasa, Sumberjambe, Silo, Mayang, Panti, Mumbulsari dan Sumberbaru.
Penyebab bencana
Salah seorang warga Desa Kelurahan Bintoro, Kecamatan Patrang Iwan mengaku khawatir ketika hujan deras mengguyur wilayah setempat selama beberapa jam karena retakan yang berada di atas permukiman warga berpotensi longsor.
Menurut Iwan, warga selalu siaga dan mengungsi ke tempat yang aman, apabila intensitas hujan cukup tinggi mengguyur kawasan tersebut, bahkan tidak jarang warga begadang semalaman ketika hujan turun di lokasi setempat.
Kawasan tersebut hanya ditanami pohon sengon oleh warga setempat, padahal letaknya berada di kawasan tebing yang memerlukan tanaman berakar kuat untuk menahan resapan air hujan.
Pantauan di beberapa daerah yang berpotensi longsor juga sama, tidak adanya tanaman keras yang ditanam di kawasan lereng pegunungan, bahkan tanaman jagung terlihat di beberapa lokasi yang rawan longsor.
Tragedi bencana banjir bandang di Kecamatan Panti pada tahun 2006 masih membekas di ingatan warga Jember karena bencana yang cukup dahsyat di awal tahun itu telah merenggut korban sebanyak 100 orang meninggal dunia dan ratusan warga terpaksa kehilangan tempat tinggalnya.
Banjir bandang tersebut penyebabnya adalah kerusakan hutan dan banyaknya kayu yang ditebang secara ilegal, bahkan sebagian banjir bandang tersebut membawa material kayu gelondongan yang disimpan di dalam tanah oleh pihak-pihak tertentu.
Sementara aktivis senior Pencinta Alam Indonesia Wahyu Giri Prasetyo mengatakan selama masyarakat masih menyalahkan hujan sebagai penyebab banjir dan tanah longsor, maka tidak akan keluar dari masalah bencana alam.
Hujan adalah rahmat dan ketika turun, kemudian mengalir ke tempat yang lebih rendah tidak akan menjadi masalah, namun ketika kawasan hutan sudah gundul dan banyak kayu yang ditebangi, maka akan menjadi potensi bencana.
"Apabila masih saja menyalahkan hujan atas bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi di beberapa daerah, maka sikap itulah yang menjadi bencana sesungguhnya," katanya.
Kadang masyarakat tidak sadar banyaknya bencana alam yang menerjang di sejumlah wilayah karena perilaku manusia yang merusak alam, namun kadang-kadang mereka menyalahkan hujan yang turun dengan instesitas tinggi menjadi penyebab bencana alam dan itu tidak benar
Ia juga mengajak masyarakat untuk bersama-sama dan mendukung aktivis lingkungan serta pencinta alam dalam usaha-usaha melestarikan lingkungan, sehingga diharapkan semakin banyak masyarakat yang sadar akan isu lingkungan untuk terhindar dari bencana alam.
Aktivis lingkungan yang akrab disapa Giri itu mengajak masyarakat lebih menyadari arti pentingnya kelestarian lingkungan dan perilaku membuang sampah ke sungai tanpa merasa bersalah merupakan tindakan yang berujung pada bencana.(*)