Surabaya (Antara Jatim) – Anggota Komisi VI DPR RI, Bambang Haryo Soekartono menilai Indonesia tidak pantas untuk mengimpor garam dari negara lain, karena menurutnya Indonesia merupakan negara dengan pantai terpanjang kedua di dunia yang berpotensi menghasilkan garam.
“Sebenarnya kita ini punya potensi menjadi penghasil garam terbesar di dunia. Karena, garam itu berkaitan dengan pantai, kita memiliki panjang pantai terpanjang kedua setelah Kanada,” ujar Bambang saat ditemui usai rapat di kantor PT Garam, Rabu.
Menurut Bambang, Indonesia tidak akan maju jika masih menganggap permasalahan utama kelangkaan garam selalu disebabkan oleh cuaca. Ia menilai masalah cuaca memang lumrah terjadi di seluruh dunia, namun bagaimana teknologi bisa menjadi solusi untuk mengatasinya.
Anggota DPR dari Partai Gerindra ini memberi contoh bagaimana Thailand dan Australia yang cuacanya tak jauh berbeda dari Indonesia namun tetap bisa memproduksi garam dengan teknologi yang dimilikinya.
Namun, meski diakui tak pantas, Bambang mendukung upaya PT Garam untuk mengimpor 75.000 ton garam dari Australia. Bambang menilai PT Garam memiliki kewajiban sebagai stabilisator harga, jadi mengimpor garam merupakan salah satu solusi dalam menstabilkan harga garam.
Beberapa pekan ini, ujar Bambang, harga garam di tingkat pengepul telah menginjak kisaran Rp7.500 per kilogram, setelah sebelumnya berkisar Rp300-500 saja. Nantinya, PT Garam juga menjanjikan harga garam impor yang diedarkannya tidak sampai Rp1.000 per kilogram.
Sementara itu, Bambang menilai kelangkaan persediaan garam di Indonesia karena produksi garam tidak hanya berada pada naungan PT Garam saja, banyak pihak swasta yang juga ikut mengelola.
“Harusnya garam itu dikelola PT Garam, karena garam masuk dalam 11 komoditas pangan Indonesia yang diharapkan bisa berdaulat,” ujar Bambang.
Salah satunya adalah pengelolaan area penghasil garam oleh PT Panggung, yang membiarkan 4000 hektar lahan garam di Kupang, NTT, tidak terpakai selama 27 tahun. Padahal, NTT merupakan salah satu penghasil garam terbesar di Indonesia.
Menurut Bambang, kelangkaan garam tak hanya menjadi masalah PT Garam saja, namun juga Pemerintah Daerah diharapkan bisa ikut menunjang pertumbuhan garam. Bambang juga tidak menginginkan Indonesia mengimpor garam lagi.
Sementara itu, Direktur Keuangan PT Garam, Anang Abdul Qoyyum, menargetkan produksi garam Indonesia sebanyak 3 juta ton. Namun, selama ini produksi garam terbanyak di Indonesia baru mencapai 2 ton, yang terjadi pada tahun 2014.
“Produksi petani garam akhir-akhir ini biasanya hanya mencapai ratusan ribu hingga 1,1 juta ton saja,” kata Anang.
Dari hasil produksi yang belum maksimal, Anang berharap, langkah impor ini dapat memenuhi kebutuhan garam di Indonesia. “Mudah-mudahan semua berjalan seperti kehendak kita, dan harga bisa stabil lagi,” ujarnya. (*)