Surabaya (Antara Jatim) - Peraih Nobel Ekonomi (Nobel Laureate in Economics) pada tahun 2007, Prof Eric Stark Maskin mengupas ekonomi era globalisasi dan ketidakadilan sosial ekonomi ketika menjadi pembicara di kampus Universitas Surabaya (Ubaya), Minggu.
Kunjungannya profesor asal Massachusetts Intitute of Technology, Boston, Amerika Serikat, itu merupakan rangkaian kegiatan ASEAN “Bridges – Dialogues Towards a Culture of Peace” ke-6. Selain dia, enam penerima nobel lain akan secara bergiliran mengunjungi Indonesia mulai Januari hingga Maret 2017.
Dalam kesempatannya tersebut, Maskin menyoroti tenaga kerja Indonesia yang menghadapi era globalisasi. Baik Indonesia maupun China, menurutnya, sama-sama memiliki peluang kerja di international company.
“Perusahaan internasional dalam pasar global tidak mau mempekerjakan tenaga kerja yang tidak punya skill, mereka hanya tertarik pada orang-orang yang mampu menawarkan skill mumpuni,” katanya.
Ini artinya, kata dia, pendapatan akan datang pada orang-orang yang punya skill dan meninggalkan orang-orang yang tidak punya skill. Ketimpangan dalam pasar global ini bisa diatasi dengan menyediakan lapangan kerja dan pendidikan bagi masyarakat tidak berketerampilan.
“Harus muncul kesadaran dan komitmen pemerintah, pengusaha, tokoh masyarakat dan semua pihak secara kolektif untuk aktif dalam budi daya perdamaian dunia melalui kegiatan ekonomi positif dan tidak mementingkan diri sendiri,” ujarnya.
Selain itu, dia juga menyampaikan teori-teori yang dikembangkan, yaitu mekanisme ke pasar yang akan mengakibatkan hasil yang optimal bagi seluruh peserta. Karya ini memiliki aplikasi di sektor keuangan, dalam studi perilaku pemilih dan manajemen bisnis.
“Sebuah krisis keuangan dapat dihindari dengan teori desain mekanisme,” ujarnya.
Karya Maskin telah membantu ekonom untuk mengidentifikasi mekanisme perdagangan efisien, skema regulasi dan prosedur voting. Selain itu, karyanya telah memiliki pengaruh yang mendalam pada banyak bidang ekonomi, ilmu politik dan hukum dan telah ditarik secara luas oleh para peneliti di organisasi industri, keuangan dan pengembangan dunia.
"Kami bisa melakukan banyak lebih baik dalam mengurangi resiko krisis. Seperti dengan memiliki peraturan sistem untuk mengawasi apa yang terjadi di pasar keuangan," katanya.
Menurutnya, teori desain mekanisme telah ada selama bertahun-tahun dengan aplikasi yang sukses di bidang telekomunikasi, aplikasi yang lebih baik pasti akan datang.
Sementara itu, Plt Rektor Ubaya Nemuel Daniel Pah mengungkapkan, Ubaya juga berkomitmen di bidang kemanusiaan dan perdamaian dunia sesuai dengan program yang sedang dilakukan para peraih nobel tersebut. Selain itu, reputasi akademik yang diakui secara internasional.
“Universitas Surabaya dipilih oleh International Peace Foundation (IPF) sebagai salah satu dan kali pertama kampus di Kota Surabaya yang menjadi tuan rumah karena termasuk universitas yang kredibel dan telah sangat berhasil dalam membina kemitraan dengan berbagai pihak nasional dan internasional,” jelasnya.
“Bridges – Dialogues Towards a Culture of Peace” ke-6 difasilitasi IPF mengangkat tema “Membangun budaya perdamaian dan pembangunan di dunia global” untuk menjembatani perspektif Indonesia dan luar negeri. IPF memilih beberapa kota dengan Universitas terbaik sebagai penyelenggara acara ini yaitu Surabaya, Jakarta, Jogjakarta, Denpasar dan Bandung. (*)