Surabaya (Antara Jatim) - Pengamat ekonomi dari Fakultas Bisnis, Nottingham University, China Prof Lee Chew Ging mengatakan bahwa penurunan minyak dunia mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Cina, yang sudah terlihat perlambatan ekonomi ke tingkat pertumbuhan yang dikhawatirkan dapat mengganggu pasar.
"Dampak langsung turunnya harga saham di Cina sebenarnya sedang saja. Di pasar Cina, tak cukup banyak investasi asing karena hanya sekitar dua persen saja, sehingga tidak menjadi masalah, namun yang menjadi kekhawatiran apakah hal ini menjadi cerminan masalah perlambatan ekonomi yang lebih besar di Cina yang berdasar pada devaluasi yuan awal bulan Agustus lalu," kata Dekan Fakultas Bisnis, Nottingham University, Lee Chew Ging di Surabaya, Jumat.
Ia mengatakan, ada lonjakan di pasar saham Cina, salah satunya indeks utama Shanghai naik lebih dari dua kali lipat dalam 12 bulan sampai pertengahan Juni 2015, karena adanya pembelian saham yang menggunakan uang pinjaman, sehingga saat pasar mulai menurun banyak investor yang memutuskan atau menjual investasi mereka demi membayar utang.
"Ada faktor-faktor spesifik yang mendorong penurunan saham terjadi lebih rendah pada hari-hari tertentu. Pada hari-hari ini, Bank Sentral Cina masih belum melakukan langkah apa-apa, seharusnya mereka mengambil langkah untuk mendorong pinjaman bank, namun stimulus itu tidak ada dan saham jatuh secara tajam," paparnya.
Menurut dia, perlambatan perkonomian di China dimulai pada Juli 2014, akibat adanya harga minyak dunia yang mulai menglami pergerakan ke bawah karena efek gabungan dari lemahnya permintaan dan pasokan berlebih berkaitan dengan stabilisasi produksi minyak di timur tengah dan peningkatan produksi minyak di AS .
"Pada pertengahan tahun 2008, harga minyak mentah dunia mengalami peningkatan harga hingga mencapai 140 dolar AS per barel, kemudian pada tahun 2009 mengalami penurunan yang sangat signifikan menjadi 40 dolar AS per barel. Sementara mulai tahun 2012, harga minyak dunia mengalami pergerakan fluktuatif, hingga saat ini turun menjadi hampir 40 dolar AS per barel," tuturnya.
Dalam jangka pendek, lanjutnya negara-negara pengimpor minyak, seperti Indonesia, Filipina, dan Thailand akan menerima manfaat perekonomian melalui peningkatan pendapatan riil dari proses minyak yang lebih rendah yang meningkatkan konsumsi swasta dan investasi.
"Pengekspor minyak bersih harus mengatasi konsekuensi negatif dari harga lemah dari sumber utama pendapatan mereka, dengan konsekuensi, yaitu transfer internasional pendapatan dari eksportir minyak utama untuk importir minyak, penurunan tekanan inflasi, berdampak pada saldo rekening giro, tantangan dalam melaksanakan reformasi struktural dalam negeri," ujarnya.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, menurut negara-negara Asia tahun ini adalah tahun yang menantang, karena kemungkinan perlambatan ekonomi dari China serta ketidakpastian dalam pergerakan harga minyak mentah dunia, yang terkadang bisa naik atau bahkan mengalami penurunan.
"Pemerintah China saat ini masih menstimulasi ekonomi yang bisa berdampak pada pasar saham, memotong suku bunga, mengurangi aturan-aturan pinjaman di bank, serta meningkatkan belanja. Selain itu juga Pemerintah Cina akan mendorong yuan turun lebih jauh lagi untuk mendorong ekspor," tandasnya. (*)
Pengamat China: Penurunan Minyak Dunia Pengaruhi Saham
Jumat, 30 Oktober 2015 18:14 WIB
Pengamat ekonomi dari Fakultas Bisnis, Nottingham University, China mengatakan bahwa penurunan minyak dunia mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Cina, yang sudah terlihat perlambatan ekonomi ke tingkat pertumbuhan yang dikhawatirkan dapat mengganggu pasar.