Warga di Kota Surabaya harus sedikit bersabar menunggu kepastian resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Surabaya, apakah nantinya jadi digelar pada 2015 atau 2017.
Hal ini dikarenakan KPU Kota Surabaya baru resmi menutup masa perbaikan berkas persyaratan dua pasangan bakal calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya yakni Tri Rismaharini dan Whisnu Sakti Buana (diusung PDIP) serta Rasiyo dan Dhimam Abror (PAN dan Demokrat). Masa perbaikan itu digelar selama tiga hari pada 19-21 Agustus 2015.
"Liason Officer" (LO) atau pihak penghubung dengan KPU dari dua pasangan cawali-cawawali Surabaya telah menyerahkan kekurangan berkas pada hari terakhir verifikasi.
"Kami sudah melengkapi berkas yang masih kurang, diantaranya tim kampanye dan foto pasangan calon," kata Jubir Tim Pemenangan Risma-Whisnu Didik Prasetiyono.
Mengenai surat pengajuan pensiun diri dari PNS oleh Tri Rismaharini tidak ada masalah lagi karena KPU memperbolehkan fotokopi Surat Keputusan Presiden Nomor 00055/KEPKA/AP/23573/15 tentang pemberhentian atas permintaan sendiri dan penerimaan pensiunan PNS yang sertai dilegalisasi atau mengetahui Kepala Badan Kepagawaian dan Diklat Pemkot Surabaya.
Begitu juga Juru Bicara Tim Pemenangan Rasiyo-Abror dan sekaligus Plt Ketua DPC Demokrat Surabaya, Suhartoyo, mengatakan pihaknya sudah melengkapi semua berkas yang belum lengkap. "Ini saya datang untuk menyerahkan," katanya.
Namun demikian KPU Surabaya akan melanjutkan tahapan verifikasi faktual atau penelitian terkait berkas persyaratan calon yang telah diserahkan itu pada 23-29 Agustus 2015.
"Saat itu, kami dan Panwaslu akan melakukan penelitian. Baru pada 30 Agustus, kami akan mengumumkan pasangan calon yang memenuhi syarat atau tidak," kata Ketua KPU Surabaya Robiyan Arifin.
Mengenai perlengkapan apa saja yang belum terpenuhi itu, Robiyan enggan mengatakan. "Nanti pada saat tahap penelitian akan diteliti. Saat ini saya tidak mengecek berkas apa yang sudah diserahkan dan tidak," katanya.
Selama ini yang menjadi persoalan adalah keaslian dari surat rekomendasi dari PAN untuk pasangan Rasiyo-Abror, karena saat pendaftaran pada 11 Agustus lalu, surat rekomendasi dari PAN yang diserahkan ke KPU hanya berupa scan atau tidak adanya tanda tangan dan stempel basah yang dikirim melalui email atau surat elektronik.
Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kota Surabaya menilai surat rekomendasi itu bermasalah karena hanya di-scan atau tidak ada tanda tangan dan stempel basah. Hal ini melanggar Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015 tentang pencalonan kepala daerah.
"Ada temuan dari tim Panwaslu bahwa rekomendasi partai hanya di-scan. Mestinya harus asli yang dibumbui tanda tangan dan stempel basah," kata Ketua Panwaslu Surabaya Wahyu Hariyadi.
Wahyu menjelaskan ada syarat wajib yang harus dilengkapi saat itu seperti surat rekomendasi dari DPP, dukungan dari pengurus daerah atau cabang Surabaya serta surat pernyataan dari pasangan calon.
Namun, KPU Surabaya menyatakan surat rekomendasi jenis dokumen Model B.1 KWK-Parpol dari DPP PAN untuk pasangam Rasiyo-Abror yang hanya di-scan tidak bermasalah karena bisa dilengkapi selama masa verifikasi berlangsung.
"Soal rekomendasi, idealnya pada saat proses pendaftaran itu dilampirkan. Akan tetapi kondisinya ada yang tidak memenuhi standar mestinya," kata Ketua KPU Surabaya Robiyan Arifin.
Menurut dia, hal itu tidak menjadi masalah karena sudah ada surat pernyataan bahwa kekurangan harus diperbaiki dalam waktu dekat ini. Selain itu, lanjut dia, ada bukti bahwa surat rekomendasi dari DPP PAN itu dikirim melalui fax atau email.
"Dari PAN sendiri katanya masih dalam perjalanan, kita tunggu secapatnya. Yang penting dalam hal ini, hak konstitusinal warga Negara dilindungi. Jangan sampai persoalan adminsitrasi yang seharusnya bisa diperbaiki mengugurkan hak orang muntuk mencalonkan," ujarnya.
Hanya saja, KPU Surabaya dinilai tidak transparan karena tidak berkenan memperlihatkan rekomendasi itu kepada publik saat DPD PAN Surabaya menyerahkan rekomendasi asli pada saat verifikasi ke KPU pada Jumat (21/8).
Bahkan, sejumlah wartawan yang meminta agar memperlihatkan rekomendasi yang merupakan dokumen publik itu, KPU tetap bergeming dengan alasan menunggu penelitian.
Pengamat Politik dari Universitas Airlangga Surabaya Hariadi menilai adanya indikasi permainan di tingkat lokal menyusul tidak jelasnya rekomendasi asli dari DPP PAN untuk Cawali-Cawawali Surabaya Rasiyo-Abror.
Hariyadi mengatakan sikap tegas Ketua Umum DPP PAN, Zulkifli Hasan, bahwa rekomendasi yang ditekennya telah diserahkan merupakan jaminan dari petinggi partai PAN untuk "all-out" menghadapi Pilkada Surabaya tahun ini.
Jaminan dari Ketua PAN tersebut mengindikasikan komunikasi politik ditingkat pusat tidak ada persoalan. Kendati begitu ada beberapa hal yang perlu disorot.
"Ada indikasi menjadi permainan kader ditingkat bawah, sebab DPP PAN sendiri sudah memberikan jaminan," ujarnya.
Jika terbukti, lanjut dia, petinggi DPP PAN sedianya harus bisa memberikan sanksi kepada bawahannya terkait penahanan surat rekomendasi tersebut. "Tapi bagaimanapun juga hal itu merupakan indisipliner. Sehingga perlu adanya sanksi," ujarnya.
Pilkada Prosedural
Sikap KPU Surabaya yang tidak transparan tersebut sempat mendapat reaksi dari sejumlah pihak. Puluhan warga yang mengatasnamkan Relawan Surabaya Bersatu menyegel kantor KPU Surabaya pada Jumat (22/8).
"Kami minta KPU tegas jangan mau diintervensi, KPU harus jujur terbuka dan profesional," kata kata salah seorang koordinator aksi Pokemon.
Reaksi yang sama juga dilontarkan Koalisi Majapahit yang beranggotakan tujuh partai politik di Surabaya. Ketua Pokja Koalisi Majapahit A.H. Thony menyesalkan tidak transparannya surat rekomendasi dari DPP PAN untuk pasangan bakal Cawali-Cawawali Surabaya Rasiyo-Abror yang diserahkan ke KPU Surabaya.
"Mestinya sebagai dokumen publik dibuka saja, kalau disembunyikan seperti itu maka akan menimbulkan kecurigaan pada pihak lain bahwa tidak menutup kemungkingkan KPU melakukan kesalahan," katanya.
Ia menilai tidak menutup kemungkinan KPU dan parpol pengusung Rasiyo-Abror melakukan kerja sama untuk mengelabuhi persyaratan yang tidak memenuhi syarat yang itu tidak diketahui pihak lain.
Menurut dia, situasi yang terjadi pada tahapan Pilkada Surabaya menunjukkan KPU Surabaya melakukan tambahan pelanggaran.
Pada saat perpanjangan pendaftaran, KPU tidak mengindahkan Peraturan Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015 yang sudah jelas bahwa jika pendaftaran diperpanjang tiga hari tetap hanya satu pasangan, maka calon tunggal maka pilkada ditunda pada tahapan berikutnya 2017.
"Ini sepertinya sebagai langkah memberi kesempatan bagi pasangan calon untuk melakukan perbaikan persyaratan utama yang harus sudah terpenuhi pada saat perpanjangan pendaftaran," ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, pada pendaftaran Cawali-Cawawali Rasiyo-Abror tidak disertai surat rekomendasi yang asli, melainkan hanya berbentuk scan yang dikirim melalui email atau surat elektronik.
Belum lagi tanda tangan pengurus DPD PAN Surabaya yang mestinya dilakukan ketua dan sekretaris, melainkan hanya ketua dan wakil sekretaris.
"Padahal aturan sudah jelas, rekomendasi itu harus asli. Mestinya KPU bisa menolak pasangan calon itu," kata Sekretaris DPC Gerindra Surabaya ini.
Ia menilai jika proses pencalonan cacat hukum, kemudian ditetapkan, konsekuensinya pilkada produk hukum yang salah. Thony mengungkapkan, beberapa cara telah ditempuh Koalisi Majapahit untuk mengingatkan proses demokrasi yang dinilai melanggar aturan. "Kita sudah layangkan gugatan ke PTUN, laporkan ke DKPP dan DPR," katanya.
Mantan Anggota DPRD Surabaya ini mengatakan PTUN merespons gugatan yang dilayangkan dengan mengelar sidang pertama, Kamis (20/8).
"PTUN akan sidang pertama terkait munculnya surat edaran KPU RI No.449 soal perpanjangan pendaftaran calon kepala daerah," katanya.
Tentang pilkada serentak yang segera digelar pada 9 Desember 2015, Ketua Umum PP Muhammadiyah Dr Haedar Nasir MSi mengingatkan lima tanda pilkada yang prosedural yakni politik uang, kampanye hitam, kekerasan, provokasi, dan apatisme (golput).
"Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika dan India, tapi pilkada yang ada masih prosedural," katanya.
Ia menjelaskan dalam Pilkada Serentak 2015, orang nomer satu di Muhammadiyah itu mengajak masyarakat untuk menolak lima hal yang menjurus pada politik prosedural yakni politik uang, kampanye hitam, kekerasan, provokasi, dan golput.
"Politik atau demokrasi prosedural itu dalam pandangan Bung Karno merupakan demokrasi tanpa filosofi. Filosofi di sini adalah Pancasila, berarti demokrasi tanpa ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan," katanya.
Dengan Pilkada Berkemajuan, ia meyakini akan lahir proses demokrasi yang cerdas dengan cara memilih yang tahu rekam jejak kandidat dan akhirnya lahir pemimpin berjiwa kenegarawanan yang mementingkan kepentingan negara di atas segalanya. (*)