Bulan April menjadi salah satu bulan "sakral" bagi lahirnya pengetahuan dan pendidikan di Tanah Air, khususnya kaum perempuan. Bagaimana tidak, pada bulan ini seorang perempuan keraton berani mendobrak tradisi jika perempuan, bukan hanya sekadar "konco wingking" bagi suaminya, tetapi juga punya hak untuk maju, berkembang dan berhak menjadi pintar dengan memperoleh pendidikan. Perjuangan dan kegigihan RA Kartini untuk membangkitkan kaum perempuan dari hanya seorang konco wingking menjadi perempuan yang pintar, mandiri dan mampu mengembangkan seluruh potensinya, kini membuahkan perempuan-perempuan "perkasa" yang tidak saja mahir menjalani kodratnya sebagai perempuan, tapi juga mampu berkiprah di luar rumah, bahkan tidak sedikit perempuan yang duduk sejajar dengan laki-laki dalam berbagai aspek, termasuk dunia politik dan pemerintahan. Selama ini, ketika memasuki bulan April, pikiran kaum perempuan di Tanah Air tertuju pada "ritual" kegiatan yang hampir seluruhnya berkaitan dengan perempuan karena bulan ini dianggap sebagai bulan perempuan. Bahkan, anak-anak kita yang masih duduk di bangku Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Perguruan Tinggi (PT), organisasi kemasyarakatan, pemerintahan, lembaga swasta, beramai-ramai menggelar acara "kartinian" dan dimana-mana kita temukan kaum perempuan berpakaian kebaya maupun pakaian adat dari berbagai penjuru Nusantara. Namun, apakah kita semua akan terkungkung hanya dengan kegiatan ritual mengenakan kebaya, sanggul atau pakaian adat Nusantara saja, setelah perayaan usai tak ada lagi tindak lanjutnya. Apa yang harus diperbuat dan dilakukan untuk memperjuangkan kaum perempuan yang berada di daerah pinggiran, yang sampai saat ini pun tidak bisa menikmati kegigihan dan perjuangan RA Kartini, sekalipun hanya sekedar bisa membaca dan menulis. Bahkan, tidak sedikit kaum perempuan di wilayah perkotaan juga masih belum bisa membaca dan menulis alias buta aksara, apalagi kaum perempuan yang tinggal di daerah pinggiran, terpencil dan sering kali terpinggirkan serta terlupakan. Tidak banyak seorang guru atau relawan yang dengan ikhlas membagi ilmunya dan mengajar perempuan-perempuan pinggiran yang jauh dari jangkauan, termasuk transportasi ini. Untuk mengentaskan kaum perempuan yang masih buta aksara ini, pemerintah di daerah melalui Kabid Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas Pendidikan (Disdik) juga telah mengucurkan anggaran melalui program kelompok belajar (kejar) paket A hingga C (SD, SMP dan SMA). Akan tetapi, sejauh mana efektifitasnya karena rata-rata peserta kejar paket ini hanya bertahan beberapa kali pertemuan, selanjutnya akan bubar dengan sendirinya. Jauh sebelum lahirnya seorang pejuang kaum perempuan yang bernama RA Kartini, kitab suci umat Islam, Al Quran pun mengajarkan "Iqra" (membaca). Jadi, betapa pentingnya umat manusia ini untuk menimba sekedar bisa dan mampu membaca dan menulis, bahkan menimba ilmu setinggi-tingginya. Kondisi kaum perempuan di pinggiran dan terpencil itu berbanding terbalik dengan kaum perempuan yang bermukim di wilayah perkotaan. Kaum perempuan di perkotaan yang sudah mengenal hiruk pikuk kemajuan zaman, perpolitikan dan berkarier menjulang dan telah jauh meninggalkan kondisi perempuan di daerah pinggiran dan terpencil. Lahirnya tokoh-tokoh perempuan cerdas dan berani di Tanah Air tidak bisa lepas dari sumbangsih pemikiran, perjuangan dan kegigihan RA Kartini yang tiada lelah memperjuangkan kesejajaran kaumnya dengan laki-laki. Kini, kita sudah bisa melihat betapa banyaknya perempuan yang menduduki posisi penting di pemerintahan, partai politik (parpol) maupun berbagai perusahaan multi nasional. Akan tetapi, setinggi apapun jabatan, secemerlang apapun karier seorang perempuan, ia tetaplah seorang perempuan yang tidak bisa lepas dari kodratnya sebagai perempuan sekaligus istri dan ibu bagi anak-anaknya. Sesibuk apapun seorang perempuan, tetaplah berusaha menyisihkan waktu untuk anak-anaknya, tidak perlu "quantity time", cukuplah "quality time" bagi keluarganya. Sebab, perkembangan dan pertumbuhan anak tidak bisa lepas dari tangan kaum perempuan yang menjadi ibu mereka dan ukuran keberhasilan atau kesuksesan seorang perempuan tidak hanya ditentukan cemerlangnya karier di luar rumah, tapi juga dari dalam rumah. Perempuan yang gigih memperjuangkan keluarga serta anak-anaknya untuk bisa menjadi "orang" dengan segala keterbatasannya inilah yang patut diapresiasi dan layak disebut Kartini. Kartini masa kini bukan hanya milik perempuan sukses karena memiliki semua yang dibutuhkan, tapi juga perempuan yang berjuang menjadikan anak-anaknya biasa menjadi orang serta perempuan yang punnya kiprah membangun dan memperjuangkan potensi kaum perempuan agar dihargai dengan segala kemampuan yang dimilikinya dengan keihklasan dan ketulusan. Selamat Hari Kartini (*)
Kartini, tak Sekadar Kebaya dan Sanggul
Minggu, 19 April 2015 19:57 WIB