Keterlibatan TNI dalam ketahanan pangan, mengingatkan kita semua di era Orde Baru. Di era Orde Baru, untuk pengembangan bidang pertanian dengan pencapaian prestasi swasembada beras diyakini berbagai pihak tidak lepas dari strategi yang dibangun Presiden Soeharto, secara militer. Berdasarkan catatan di Wikipedia, mulai 1968 hingga 1992, produksi hasil pertanian di Indonesia meningkat tajam. Pada tahun 1962, misalnya, produksi padi hanya mencapai 17.156 ribu ton, yang kemudian meningkat tiga kali lipat menjadi 47.293 ribu ton, pada 1992, yang berarti produksi beras meningkat dari 95,9 kg/jiwa, menjadi 154,0 kg per jiwa. Prestasi pengembangan bidang pertanian di era Orde Baru menjadi luar biasa, mengingat Indonesia pernah menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia pada tahun 1970-an, yang kemudian berbalik menjadi Negara pengekspor beras. Bahkan, Indonesia mampu mencapai swasembada pangan pada 1980 dan di bidang pertanian bisa mengantongi medali ”from rice importer to self sufficiency” dari Food and Agriculture Organization (FAO). Prestasi Indonesia di bidang pangan berangsur-angsur memudar, setelah era reformasi, yang kemudian gagasan melibatkan TNI dalam ketahanan pangan muncul di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Keterlibatan TNI dalam ketahanan pangan sekarang ini berbeda dengan Orde Baru, karena kepemimpinan nasional di tangan sipil, tapi menjadi strategis, dengan mempertimbangkan sumber daya TNI. Sumber daya TNI yang ada dimana-mana, tidak hanya di perkotaan, tapi sampai pedesaan, bisa menjadi unjung tombak dalam mengamankan berbagai permasalahan pertanian. "Kalau TNI sudah memperoleh perintah dari Presiden (Joko Widodo), ya harus berhasil. Kalau tidak berhasil taruhannya jabatan saya bisa dicopot," ucap Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, dalam kunjungan kerja di Bojonegoro, 21 Januari lalu. Pada kesempatan itu, ia menginstruksikan kepada seluruh jajarannya sampai tingkat desa (Babinsa) terlibat dalam meningkatkan produksi pangan, di antaranya, ikut melakukan pengawasan pendistribusian pupuk. Bahkan, ia juga berjanji akan mengkoordinasikan dengan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menyangkut percepatan ketersediaan air untuk mencukupi kebutuhan areal pertanian. Target Nasional Sesuai yang disampaikan Menteri Pertanian Amran Sulaiman, pemerintah menargetkan produksi padi secara Nasional 2015, mencapai 73 juta ton gabah kering giling (GKG), meningkat dibandingkan produksi tahun lalu yang hanya 70 juta ton GKG. Provinsi Jawa Timur pada 2015 memperoleh target untuk meningkatkan produksi tanaman padi menjadi 14 juta ton gabah kering giling (GKG), yang tahun lalu hanya 12 juta ton GKG. Keterlibatan TNI dalam usaha ikutg meningkatkan produksi pangan terutama tanaman padi, dengan ikut mengamankan pendistribusian pupuk belumlah cukup. Berbagai faktor lainnya yang menunjang peningkatan produksi pangan, yang masih menjadi permasalahan, antara lain, ketersediaan pupuk secara penuh, air, benih unggul, ketersediaan lahan, juga berbagai kebutuhan lainnya. Data dari PT Petrokimia Gresik, sesuai Permentan No. 130 tahun 2014 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2015, alokasi pupuk bersisidi secara nasional mencapai 9,5 juta ton. Dari alokasi jatah pupuk itu, PT Petrokimia memperoleh alokasi pupuk sebesar 5.219.785 ton, sedangkan lainnya dibagi untuk PT Pupuk Sriwijaya (Pusri), PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT), PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) dan PT Pupuk Kujang Cikampek (PKC). Alokasi pupuk Alokasi anggaran yang disiapkan Pemerintah untuk pupuk bersubsidi 2015 mencapai Rp35,7 triliun tersebut, di antaranya, untuk membayar hutang pupuk bersubsidi di tahun-tahun sebelumnya. "Sesuai data di RDKK kebutuhan pupuk 2015 berkisar 12-13 juta ton," jelas Manajer Humas PT Petrokimia Gresik Yusuf Wibisono di Bojonegoro Bagi TNI dengan sumber daya yang dimiliki untuk mengamankan pendistribusian pupuk bersibsidi 9,5 juta ton bisa tepat sasaran tidaklah sulit. Tapi permasalahan muncul ketika alokasi pupuk bersubsidi yang tersedia itu, masih belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pupuk areal pertanian sesuai yang masuk dalam rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK). Belum lagi adanya pengembangan kawasan hutan yang menjadi areal pertanian, tapi belum masuk dalam RDKK, yang juga membutuhkan pupuk bersubsidi. Tidak terlalu berlebihan kelemahan soal pupuk bersubsidi membuka peluang pihak lain memanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Sebagaimana disampaikan Menteri Pertanian Amran Sulaiman, 20 mafia pupuk bersubsidi di beberapa daerah sudah ditangkap, di antaranya, Jawa Timur enam mafia, Jawa Tengah enam mafia, dan lainnya di Aceh, Sumatera Utara, Jambi, dan Sulawesi Selatan. "Mereka mengoplos pupuk bersubsidi dengan pupuk biasa dan kemudian menjual dengan harga mahal," ujarnya. Permasalahan klasik lainnya yaitu ketersediaan air yang masih menjadi momok bagi petani juga berbagai pihak lainnya terutama di musim kemarau. Seperti Bupati Bojonegoro Suyoto, dengan jajarannya, beberapa waktu lalu, datang langsung ke Waduk Wonogiri, Jawa Tengah, untuk memastikan kebutuhan air areal pertanian di daerahnya dari air Bengawan Solo di musim kemarau bisa tercukupi. Keterlibatan TNI di bidang ketahanan pangan memang masih terbatas dalam pendampingan untuk meningkatkan produksi tanaman padi, jagung dan kedelai. Meski demikian, keterlibatan TNI, dalam pendampingan ketahanan pangan tetap harus disambut positif. Kehadiran TNI ke depan bisa dikembangkan untuk ketahanan pangan dalam arti luas, apalagi dengan teknologi pertanian yang ada sangat memungkinkan ketahanan pangan menjadi sesuatu yang pasti. (*)
TNI Dipertaruhkan untuk Ketahanan Pangan
Minggu, 8 Maret 2015 8:20 WIB