Petani Tebu Minta Pengertian Perbankan terkait Kredit
Senin, 17 November 2014 16:20 WIB
Lumajang (Antara Jatim) - Petani tebu di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, meminta pengertian perbankan agar tidak memasukkan mereka ke dalam "daftar hitam" terkait kredit macet.
"Kami mohon betul pengertian perbankan untuk memahami kondisi petani tebu saat ini karena harga gula betul-betul sangat murah," kata Sekretaris Himpunan Petani Tebu Rakyat (HPTR) Lumajang Budhi Susilo di Lumajang, Senin.
Ia menjelaskan bahwa pepatah "sudah jatuh tertimpa tangga" kini betul-betul menimpa para petani. Di satu sisi mereka harus segera melunasi pinjaman di bank yang sudah jatuh tempo, namun di sisi lain mereka tidak bisa segera menjual gula mereka yang setiap lelang hanya ditawar di bawah harga Rp8.000 per kilogram.
"Kalau saat ini petani tidak melunasi pinjamannya, itu karena memang tidak ada uang sama sekali. Kami berharap segera ada kabar baik mengenai harga gula. Minimal bisa lebih dari Rp8.100 saja, kami sudah senang dan akan kami lepas," katanya.
Ia mengemukakan bahwa jika perbankan memasukkan para petani tebu dalam "daftar hitam" sebagai penerima kredit, maka hal itu betul-betul akan menyulitkan petani untuk memulai tanam tebu di tahun depan.
"Kalau kami diblack list, dipastikan tahun depan produksi tanaman tebu akan berkurang karena petani tidak punya biaya tanam dan perawatan, apalagi sekarang sudah ada petani yang beralih ke tanaman lain karena usaha tebu terus merugi. Ini akibat dari masuknya gula impor sehingga menurunkan harga gula lokal," katanya.
Budi mengemukakan sebetulnya ada dana Progran Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) dari PTPN XI, namun hingga kini dana itu belum bisa dinikmati oleh petani, tanpa penjelasan lebih lanjut.
"Kalau dana PKBL ini cair, lumayan buat petani. Alokasi setiap satu hektare lahan sebanyak Rp25 juta, dan setiap petani dibatasi hanya maksimal empat hektare. Pinjaman ini cukup ringan, bunganya hanya 6 persen per tahun," katanya.
Menurut Budhi, akibat rendahnya harga gula, kini 12.500 ton gula milik petani di Lumajang menumpuk tidak terjual. Jumlah itu belum termasuk gula milik pabrik gula dan milik petani di sejumlah daerah, seperti Jember, Bondowoso dan Kabupaten Situbondo.
Budhi mengatakan bahwa petani berharap agar ke depan gula kembali ditangani oleh Bulog, sebagaimana di Zaman Orde Baru. Dengan demikian, maka para mafia gula akan kesulitan untuk memainkan harga yang kini membuat petani merugi.
"Dengan ditangani oleh Bulog kembali, maka harga gula akan stabil dan masa depan industri gula akan kembali baik. Kalau seperti ini terus, pabrik-pabrik gula nanti bisa tutup karena petani sudah enggan menanam tebu," katanya. (*)