Andaikata Gus Dur (almarhum KH Abdurrahman Wahid/Presiden ke-4 RI) masih hidup, tentu di tengah ketegangan Pilpres 2014 yang bersifat "head to head" akan muncul lontaran pendapat yang menyegarkan dan membuat ketawa ngakak. Apalagi, Pilpres 2014 juga masih "menyeret" foto dan pendapat dari cucu pendiri NU KH Hasyim Asy'ari itu tentang kandidat bahwa Prabowo adalah "Orang Paling Ikhlas kepada Rakyat Indonesia". Tentu, Gus Dur akan "dicari" wartawan untuk mengomentari 'kampanye' yang menyeret dirinya itu. Ya, jasad Gus Dur memang sudah "ditelan" bumi (30-12-2009), namun "spirit" demokrasi dari Bapak Demokrasi yang suka ceplas-ceplos itu masih relevan untuk menjadi bahan "muhasabah" (refleksi) dalam Pilpres 2014, terutama pandangannya tentang demokrasi. Misalnya, demokrasi "kelas TK" itu. Sesungguhnya, Gus Dur ingin mengkritik bangsa ini yang masih bisa berdemokrasi secara prosedural, sedangkan berdemokrasi secara substansial masih jauh dari asa. Demokrasi masih sebatas "kotak suara", tapi nilai-nilai demokrasi masih belum dihayati, apalagi diamalkan. Nilai-nilai demokrasi itu antara lain mengandaikan penghormatan kepada perbedaan dan bukan cara-cara yang menghalalkan segala cara, seperti "money politics", kampanye hitam, dan lainnya. Nilai-nilai demokrasi juga mengandaikan penghormatan terhadap menang-kalah dengan menepis kawan-musuh. Bahkan, nilai-nilai demokrasi juga mengandaikan islah/kebersamaan (persatuan) dalam perbedaan, apalagi silaturrahmi pada hari nan-fitri. Demokrasi substansial memang tidak mudah. Misalnya, "siap kalah" adalah istilah yang mudah diucapkan, ditulis, dan dideklarasikan, tapi bukan perkara mudah dalam praktik. Idem ditto, "islah" (rekonsiliasi) adalah istilah yang juga mudah diucapkan, ditulis, dan dideklarasikan, tapi bukan perkara mudah dalam praktik. Atau, "sinergis" (kerja sama) juga hanya mudah dalam teori. Namun, tidak ada salahnya, istilah "siap kalah", "islah" (rujuk), atau "sinergis" itu terus diikhtiarkan dalam suasana Idul Fitri 1435 Hijriah, kendati sulitnya bukan main, tapi bukan tidak mungkin sama sekali. Buktinya, "Raja Dangdut" H Rhoma Irama yang sempat menjadi capres PKB justru kini menyatakan siap bersilaturrahmi dengan Ketua Umum DPP PKB H Muhaimin Iskandar bila diundang DPP PKB untuk merayakan Lebaran 1435 Hijriah. "Karena itu, saya tidak habis pikir kalau ada politisi PKB yang bilang Rhoma Irama bertaubat, padahal Rhoma Irama hanya bermaksud baik untuk menghadiri undangan silaturrahmi," ucap Ketua Umum DPP 'Forsa' (Fans of Rhoma and Soneta) Surya Aka (23/7). Apalagi, Rhoma Irama juga sempat diundang DPP PKB menjelang pengumuman Pilpres 2014. "Kalau dibilang Rhoma Irama bertaubat, tentu tidak etis, sebab Rhoma Irama menghormati undangan, meski Rhoma Irama sempat 'ditinggalkan' oleh DPP PKB," ucapnya. Makanya, soal silaturrahmi tidak bisa disederhanakan sebagai bentuk pertaubatan, karena Rhoma Irama yang pernah jadi anggota DPR RI itu sempat digadang-gadang menjadi Capres PKB, namun DPP PKB justru mendukung Jokowi, sehingga Rhoma Irama yang ketinggalan itu pun mendukung Prabowo. "Bagi Rhoma, pilihan kepada Prabowo itu merupakan ijtihad untuk memilih kebenaran dengan kriteria agama. Kalaupun jagonya kalah, maka ijtihad itu tidak salah di mata Allah SWT," kilah Surya Aka. Tidak hanya Bang Haji yang mau bersilaturrahmi dengan DPP PKB, tapi PWNU Jatim juga mendorong kemungkinan "Islah Nasional" pasca-pengumuman hasil pilpres oleh KPU pada 22 Juli 2014. Usulan "islah" itu disampaikan saat menyambut kedatangan Capres Prabowo dalam buka puasa bersama para ulama Jatim di Gedung PWNU Jatim (16/7). "Penyelenggaranya bisa PBNU bersama PP Muhammadiyah dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bentuknya bisa Islah Nasional atau Halal Bi Halal Nasional," kata Ketua PWNU Jatim KH Hasan Mutawakkil Alallah dalam acara yang juga merupakan "kelanjutan" dari kunjungan Capres Joko Widodo ke Gedung PWNU Jatim (14/7). Walhasil, andaikata Gus Dur masih ada dan diwawancarai pers tentang silaturrahmi, islah nasional, atau demokrasi substansial, maka Gus Dur akan menjawab dengan seloroh, "Dulu, saya 'kan bilang masih Kelas TK,... Eh, kok sekarang nggak naik kelas ya,...," ucap Gus Dur dalam wawancara imajiner di alam sana. Nah, daripada "ditertawakan" Gus Dur dari jauh, ya mending para politisi segera memanfaatkan momentum Idul Fitri untuk menjalin kebersamaan, persaudaraan, dan kerja sama sesama anak bangsa. Bukankah, Argentina juga kalah dari Jerman?! Wahai para politisi, mari kita jadikan Idul Fitri sebagai idul (hari) "Kenaikan Kelas" dan bukan tertinggal di kelas TK untuk selamanya. Selamat ber-Idul Fitri, mohon maaf lahir dan bathin atas segala salah kata, salah ucap, salah duga, salah simpul, salah kaprah, dan salah-salah lainnya, kosong : kosonng ! Minal Aidzin wal Faidzin !. (*) (edyyakub@yahoo.com).
Idul Fitri untuk "Naik Kelas"
Minggu, 27 Juli 2014 9:24 WIB