Selama sebulan terakhir masyarakat disuguhi orasi melalui berbagai media, "jual obat", kampanye hitam, hingga hujatan dan serangan bernada fitnah dilancarkan timses, pendukung, relawan maupun perorangan dari pasangan capres-cawapres. Seolah tidak beradab. Namun, masyarakat tampaknya sudah cukup dewasa serta beradab, mampu memilih dan memilah semua yang disuguhkan berbentuk nyata maupun maya, sehingga kampanye Pilpres 2014 berjalan tanpa gejolak berarti. Tetapi, bisa saja minim dampaknya karena saat bersamaan berlangsung pesta sepak bola Piala Dunia di Brazil, dan juga masyarakat Muslim yang merupakan mayoritas di Tanah Air menjalankan ibadah puasa Ramadhan, sehingga fokus perhatiannya jadi terpecah. Eeehhh... saat coblosan berakhir (9/7), justru timbul masalah baru yang dimunculkan oleh kalangan intelektual terdidik bernama lembaga survei melakukan hitung cepat "quick count", di mana dari 12 lembaga survei yang mengaku profesional dengan melalui metode ilmiah, ada delapan memenangkan pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla, dan empat lainnya menangkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Pelaksana hitung cepat yang menempatkan Jokowi-JK sebagai pemenang adalah Lembaga Survei Indonesia (LSI), Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Indikator Politik, Populi Center, Center Strategic International Studies (CSIS), Litbang Kompas, Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Poltracking, dan RRI. Sedangkan pelaksana hitung cepat yang memenangkan Prabowo-Hatta adalah Puskaptis, Indonesia Research Center (IRC), Lembaga Survei Nasional (LSN), dan Jaringan Suara Indonesia (JSI). Sontak kedua pasangan kandidat bersama timses dan pendukungnya masing-masing mengklaim menang, mengumumkan bahwa mereka diberi mandat rakyat untuk memimpin RI lima tahun ke depan. Di sini tampak bahwa ada pasangan yang tidak rela atau ikhlas menerima kekalahan alias kenyataan pahit ini. Lembaga survei abal-abal yang mengeluarkan hasil sesuai pesanan pemesan harus diperiksa oleh asosiasi, hingga kredibilitasnya terjaga. Masyarakat jangan disuguhi "permainan" elite politik yang mengutak-atik survei demi memenuhi syahwat politiknya ambisi berkuasa, namun dengan menghalalkan berbagai cara. Padahal, pemenang sesungguhnya adalah hasil hitung nyata KPU pada 22 Juli mendatang, sehingga dalam perjalananan berjenjang hasil penghitungan inilah yang harus menjadi fokus perhatian, pasalnya kerawanan memanipulasi angka peroleh (rekapitulasi) bisa terjadi di tingkat ini, PPS maupun PPK hingga KPU kabupaten/kota maupun provinsi. Karena itu, diperlukan sikap kenegarawanan dari semua pihak menyikapi ini semua, baik kalangan elite politik, capres-cawapres, timses, pendukung maupun relawan dan masyarakat secara umum, termasuk TNI dan Polri. Kita tentunya tidak mau kalau persatuan dan kesatuan menjadi retak, kerukunan "buyar", masyarakat amburadul, ekonomi "kembang-kempis", hanya karena ini semua. Pemenang jangan jumawa, yang kalah harus legawa karena yang juara atau sang pemenang sesungguhnya adalah masyarakat Nusantara, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Dia yang terpilih bukan presiden kamu, dia, anda, mereka, "koen", "panjenengan", "ente", "elu", "sia", "maneh","aing". Tapi ia adalah PRESIDEN KITA, pemimpin bagi sekitar 250 juta jiwa penduduk Indonesia lima tahun kedepan (2014-2019). (*)
Presiden Kita
Minggu, 13 Juli 2014 7:15 WIB