Hitung mundur 3, 2, 1... menandai detik-detik demi pergantian tahun 2013 menuju awal 2014. Namun, momentum akhir tahun yang diwarnai rona kebahagiaan ratusan juta masyarakat Indonesia itupun sontak terhapus oleh kebijakan Pertamina menaikkan harga elpiji nonsubsidi 12 kilogram per 1 Januari lalu. Bahagia sesaat, mungkin frase itulah yang cocok mewakili hati rakyat kecil. Khususnya, untuk menggambarkan bagaimana perkembangan kehidupan mereka dari tahun ke tahun. Bahkan, "kawulo alit" tersebut sulit terlepas oleh kebijakan kenaikan sejumlah komoditas bahan pokok. Seperti halnya pada awal tahun 2014. Selain kenaikan harga elpiji 12 kilogram, harga cabai rawit di pasar perdagangan nasional juga mengalami kenaikan menjadi sekitar Rp40.000 perkilogram. Kenaikan tersebut jelas berdampak pada meningkatnya harga berbagai komoditas pangan lain dan berpengaruh terhadap harga aneka makanan jadi di warung pinggir jalan, restoran ternama, atau hotel bintang. Padahal, sampai saat ini dalam benak masyarakat masih membekas luka mendalam. Apalagi ketika harga cabai rawit di berbagai daerah di penjuru Nusantara pernah melambung hingga tembus Rp100.000 perkilogram pada awal tahun 2013. Kini, dengan kenaikan harga gas cair tabung 12 kilogram, rakyat cilik pun kembali menjerit. Mereka juga diharapkan pemerintah negeri ini untuk bisa mengikat erat pinggangnya dan berhenti menikmati manisnya kehidupan di Tanah Air. Padahal, dari sisi masyarakat, terutama kalangan menengah bawah, mempunyai secercah harapan kepada pemerintah agar memberi pertolongan sehingga bisa terlepas dari penyakit tahunan yang kian membebani perekonomian mereka. Sudah saatnya, sedini mungkin, pemerintah mau mendengarkan keluhan rakyat yang berteriak-teriak akibat kebijakan kenaikan beragam komoditas tersebut. Melalui situasi itulah, per tanggal 6 Januari lalu, PT Pertamina (Persero) mengumumkan penurunan kenaikan harga elpiji nonsubsidi 12 kilogram dari sebelumnya naik Rp3.959 perkilogram menjadi hanya naik Rp1.000 perkilogram. Penurunan itupun berlaku efektif pukul 00.00 WIB. Dengan begitu, kini harga elpiji nonsubsidi 12 kg turun dari Rp117.700 per tabung menjadi Rp82.200 per tabung. Kenaikan harga elpiji 12 kg rata-rata sebesar Rp14.200 per tabung. Oleh sebab itu, harga per tabung elpiji di tingkat agen berkisar Rp89 ribu hingga Rp120.100 terhitung mulai Selasa, 7 Januari 2014 pukul 00.00 WIB. Upaya Pertamina tersebut merupakan hasil konsultasi para menteri dan Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan, dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Agenda pertemuan itu menindaklanjuti rapat kabinet terbatas yang digelar pada Minggu (5/1). Saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Pertamina meninjau ulang kebijakan menaikkan harga elpiji nonsubsidi 12 kilogram sebagai aksi "diam-diam"-nya karena dipicu besaran kerugian yang harus ditanggung korporasi mencapai Rp7,7 triliun. Dalam pertemuan tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, Menteri Keuangan, Chatib Basri, dan Menteri BUMN, Dahlan Iskan juga hadir. Mereka sepakat dengan adanya koreksi kenaikan harga elpiji nonsubsidi 12 kg tersebut, hingga bisa menekan kekhawatiran migrasi besar-besaran oleh konsumen elpiji 12 kilogram ke elpiji 3 kilogram. Meski demikian, revisi kenaikan harga elpiji nonsubsidi 12 kilogram yang dinilai terjadi pada momentum tidak tepat justru menjadi oase tersendiri. Setidaknya, mampu sedikit mengurangi penderitaan rakyat kecil yang notabene daya beli mereka memang terbatas. Idealnya, sebelum dilakukannya kenaikan harga elpiji maupun komoditas bahan pokok apa pun, baik pelaku usaha maupun pemerintah, berkenan duduk bersama sehingga menemukan kata mufakat walaupun tetap mempertimbangkan daya beli masyarakat. Selain itu, jauh sebelum adanya kenaikan harga komoditas tersebut pemerintah bersama Pertamina gencar menyosialisasikan penggunaan elpiji. Rakyat diminta wajib meninggalkan minyak tanah yang termasuk energi tak terbarukan. Sementara, pada tahun 2014 pemerintah juga siap menaikkan sejumlah tarif. Misalnya, tarif listrik hingga tarif kereta api yang ujung-ujungnya berpotensi memunculkan inflasi. Apabila hal itu benar terjadi, rakyat kembali menderita penyakit tahunan (alergi) berbentuk harga naik. Terkecuali, pemerintah bisa meninjau ulang gaji buruh atau karyawan melalui upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang disesuaikan dengan beragam kenaikan tersebut. Kalau kenaikan harga komoditas sangat dibenci masyarakat, bisa dipastikan kenaikan gaji adalah hal yang paling dinanti karena mampu menyejahterakan kehidupan mereka. (*)
Harga Naik jadi (Penyakit) Alergi
Minggu, 12 Januari 2014 12:19 WIB