Klub kebanggaan masyarakat Kota Surabaya, Persebaya, akan kembali berlaga di pentas kompetisi Indonesia Super League (ISL) musim 2014. Dua musim sebelumnya, Bajul Ijo harus berjuang susah payah di kompetisi Divisi Utama Liga Indonesia hingga kemudian tampil sebagai juara pada 2012/2013. Kembalinya Persebaya ke pentas ISL seharusnya bisa menjadi momentum untuk menyatukan seluruh pemangku kepentingan dan elemen suporter fanatiknya bonekmania di Surabaya, yang selama tiga tahun terakhir terlibat konflik dualisme. Bagi klub yang berdiri pada 1927 tersebut, dualisme menjadi konflik terberat yang pernah dialami sepanjang sejarah perjalanannya. Persebaya memang tak pernah lepas dari masalah, tetapi tidak pernah sampai memunculkan perpecahan. Sejak 2010, badai prahara melanda Persebaya yang mengakibatkan klub tersebut terbelah menjadi dua kekuatan. Pertama, Persebaya yang berlaga di kompetisi PSSI Divisi Utama Liga Indonesia pimpinan Wisnhu Wardhana. Kedua, Persebaya 1927 pimpinan Saleh Ismail Mukadar yang berkompetisi di luar PSSI bernama Indonesia Premier League (IPL). Terdegradasinya Persebaya dari ISL pada 2010, menjadi awal munculnya perpecahan itu. Saleh Mukadar selaku Ketua PSSI Kota Surabaya dan juga Persebaya menuding PSSI pimpinan Nurdin Halid sebagai biang kerok terpuruknya Bajul Ijo. Kekecewaan itu lantas ditindaklanjuti dengan keputusan tidak lagi ikut kompetisi PSSI atau dengan kata lain, Persebaya hengkang dari PSSI. Keputusan berani itu membuahkan sanksi pembekuan bagi PSSI Kota Surabaya yang dipimpin Saleh Mukadar. Ini hukuman kedua bagi Saleh Mukadar setelah pada 2005 juga diskorsing dua tahun oleh PSSI, sebagai dampak mundurnya Persebaya dari babak delapan besar ISL. Setelah itu, tampil Wisnhu Wardhana (ketua DPRD Surabaya) sebagai ketua baru, yang kemudian membentuk tim Persebaya untuk berlaga di kompetisi Divisi Utama Liga Indonesia. PSSI pun akhirnya tidak jadi memecat Persebaya dari keanggotaan. Persebaya Divisi Utama yang dikelola PT Mitra Muda Inti Berlian dan Persebaya 1927 di bawah PT Persebaya Indonesia akhirnya berlaga di kompetisi terpisah. Satu tetap ikut kompetisi Liga Indonesia dan satu lainnya ikut IPL bersama beberapa klub duplikat baru, seperti Persija FC dan Arema FC. Dibanding kedua klub duplikat tersebut, kondisi Persebaya bisa dibilang "paling panas". Perpecahan itu tidak hanya melibatkan para elit klub, tetapi juga merambah hingga ke tingkat bawah suporter fanatiknya. Persija FC dan Arema FC memang tidak mendapat simpati dari suporter saat dibentuk dan ikut IPL, sehingga ketika bubar juga tidak ada yang peduli. Hal berbeda terjadi pada Persebaya 1927 yang tetap setia didampingi bonekmania, kendati PSSI yang diketuai Djohar Arifin Husin sudah tidak mengakui statusnya. Bahkan jelang bergulirnya kompetisi ISL 2014, sebagian bonekmania pendukung setiap Persebaya 1927 belum mau mengakui keberadaan Persebaya Surabaya yang sah dan diakui PSSI. Bagi mereka, klub yang asli dan punya sejarah dengan Kota Surabaya adalah Persebaya 1927. Sementara Persebaya yang akan berkompetisi di ISL (mereka menyebutnya Persebaya 2010) merupakan klub abal-abal yang harus dibubarkan. Bahkan, bonekmania pendukung Persebaya 1927 akan melakukan boikot saat Persebaya ISL bermain di Surabaya. Selain itu, mereka juga menuntut Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini untuk bersikap tegas dengan melarang Persebaya ISL berlaga di Kota Pahlawan, seperti kesepakatan yang pernah dijanjikan kepada bonekmania pada 23 April 2013. Akan tetapi, Wali Kota Surabaya tentu juga tidak bisa mengabaikan fakta-fakta hukum yang ada. Surat PSSI tertanggal 3 Januari 2014 yang ditujukan kepada Tri Rismaharini kembali menegaskan status klub kebanggaan warga Surabaya tersebut. Dalam surat yang ditandatangani Sekjen PSSI Djoko Driyono itu disebutkan bahwa klub Persebaya Surabaya yang merupakan anggota PSSI adalah Persebaya yang berlaga di kompetisi Divisi Utama Liga Indonesia 2012/2013 dan kemudian promosi ke ISL 2014, sebagaimana hasil keputusan Kongres Luar Biasa PSSI pada Maret 2013 di Jakarta. Terlepas masih munculnya penolakan dari elemen suporter atau adanya kepentingan dari segelintir pihak yang merasa tidak puas, masyarakat Surabaya sudah saatnya memperoleh informasi yang benar tentang status Persebaya. Masyarakat tentu tidak ingin perpecahan itu berlarut-larut, yang pada akhirnya malah merugikan klub maupun suporter yang sebenarnya ingin menjadi penikmat sepak bola, bukan suguhan konflik. (*)
"Persebaya is Back"
Minggu, 5 Januari 2014 22:10 WIB