Kiat Selamatkan Diri dari Kebakaran
Selasa, 8 Oktober 2013 16:07 WIB
Akhir-akhir ini, serangkaian kebakaran yang kerap terjadi, seperti di lereng Gunung Lemongan, Lumajang, atau di Asrama Polisi Ketintang Surabaya (6/10), apalagi di tengah kekeringan seperti saat ini, bahkan tidak jarang ada korban tewas.
Pakar geologi ITS Surabaya Dr Ir Amien Widodo menilai hal itu sebenarnya tidak perlu terjadi, namun terjadi juga, karena banyak pihak yang berhenti memaknai kebakaran sebatas musibah, padahal musibah kebakaran adalah pelajaran.
"Hampir semua orang memaklumi kebakaran, mereka sepakat tidak ada yang salah, padahal toleransi semacam itu membuat kita tidak akan pernah belajar dari kesalahan," ucapnya.
Oleh karena itu, ia menyarankan semua pihak untuk mengubah pemikiran. "Sekarang waktunya kita mengubah pemikiran bahwa kebakaran tidak hanya berhenti pada musibah, tapi juga merupakan ilmu yang harus dipelajari, sehingga kita bisa mengurangi risiko kebakaran," tukasnya.
Menurut Ketua Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim (PSKBPI) ITS Surabaya itu, pelajaran dari berbagai kasus kebakaran agaknya masyarakat saat terjadi kebakaran justru masuk dan sembunyi di kamar mandi.
"Mereka berharap tidak terbakar dan siap diguyur air saat mereka terbakar. Itu salah besar, karena asap yang muncul bersama api akan menyebabkan kita kekurangan oksigen, kita bisa lemas, pingsan dan bisa mati," tutunya.
Ia mencontohkan kejadian sekitar bulan Maret 2013 di Kabupaten Oku Timur, ibu dan bayi berumur enam bulan tewas berpelukan terbakar di kamar mandi.
Di bulan yang sama, di Pagar Alam Sumatera Selatan ada ruko terbakar dan satu keluarga empat orang tewas terpanggang di kamar mandi lantai dua.
Sekitar Juni 2013 di Teluk Gong Jakarta, tiga korban ditemukan meninggal dalam kondisi berpelukan di dalam kamar mandi. Demikian pula pada dua orang yang tewas terbakar di Bekasi, 31 Agustus 2013.
Bulan September juga masih terjadi hal yang sama, misalnya di Penjaringan, Jakarta Utara, yaitu pada 5 September 2013, satu keluarga berjumlah empat orang tewas.
Pada tanggal 22 September 2013, satu keluarga lima orang, termasuk balita tewas kebakaran di Mampang. Di Medan, 29 September 2013, korban ditemukan di kamar mandi setelah tak mampu menyelamatkan diri dalam musibah itu.
Bulan Oktober 2013, warga Desa Sukorejo, Kecamatan Kota Bojonegoro, ditemukan tewas terpanggang di dalam kamar mandi.
Cepat, Panas, Gelap, Mematikan
Amien Widodo menilai hal itu membuktikan masyarakat tidak menyadari "karakter" api dalam sebuah kebakaran, padahal dari berbagai referensi menyebutkan bahwa api itu cepat, panas, gelap, dan mematikan.
"Api itu cepat, karena itu hanya dalam waktu kurang dari 30 detik, maka api kecil akan berubah membesar dan di luar kendali. Hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk asap hitam tebal untuk mengisi rumah atau untuk menghanguskan seluruh bangunan," paparnya.
Selain itu, api itu juga panas, karena suhu kamar bisa 100 derajat di lantai dan naik menjadi 600 derajat pada ketinggian 1 meter. Panas ini dapat melelehkan pakaian, menguap air di kamar mandi, dan menghirup udara super panas akan menghanguskan paru-paru.
Api itu gelap, pada awal mulanya api terang benderang dan dengan cepat menghasilkan asap hitam dan gelap gulita. Tidak hanya, api itu juga mematikan, karena api menggunakan oksigen yang dihirup manusia dan menghasilkan asap dan gas beracun yang mematikan.
"Kebakaran paling mematikan terjadi di rumah ketika orang sedang tidur dan jika terbangun saat ada teriakan kebakaran, kita mungkin buta (gelap gulita), bingung dan tidak dapat menemukan jalan keluar rumah walau kita sudah tinggal di selama bertahun-tahun," tandasnya.
Oleh karena itu, saat terjadi kebakaran sebaiknya diupayakan keluar rumah sesegera mungkin. "Kalau memungkinkan kita tutupi badan kita dengan selimut tebal/handuk yang dibasahi dan kita terobos api. Jangan memikirkan harta benda lagi," kupasnya.
Ia menyatakan berbagai kejadian kebakaran juga menunjukkan bahwa sebagian besar rumah/rumah toko/rumah kantor di perkotaan tidak dipersiapkan menghadapi keadaan darurat, salah satunya karena sebagian besar rumah berhimpitan hanya dan punya satu jalan keluar dan masuk.
"Untuk itu, pemerintah bisa membuat aturan bahwa setiap bangunan baik rumah tinggal, rumah toko atau rumah kantor harus membuat pintu tambahan sebagai pintu atau jendela darurat baik di lantai dasar dan lantai di atasnya. Walau dipasangi tralis tetap harus bisa dibuka dari dalam," kilahnya.
Untuk antisipasi kebakaran juga, ia menyarankan untuk membuat kesepakatan bersama antartetangga yang rumahnya berhimpitan untuk membentuk kelompok sadar kebakaran dan mulailah bermusyawarah mendiskusikan tentang penyebab dan pemicu kebakaran serta bersama sama mulai mengidentifikasi keadaan rumah masing-masing.
"Misalnya, memeriksa kabel listrik apakah jenisnya, sambungannya, steker dan stop kontaknya sudah betul atau sesuai standar, misal tidak ngefong, kalau tidak sesuai langsung diganti/diperbaiki. Demikian pula dengan selang kompor gas, sambungan dan regulatornya sudah sesuai standar serta tersambung dengan baik," ungkapnya.
Hal yang juga penting bagi setiap keluarga punya nomer telepon penting, seperti telepon Keamanan kampung, RT, RW, PMK, Polisi, PLN, dan sebagainya.
"Kalau memungkinkan secara gotong royong membeli Alat Pemadam Api Ringan (APAR) dan jangan lupa minta dilatih PMK," katanya. (*)